Senin, 03 Maret 2008

KAJIAN KOMUNIKASI POLITIK (KP 1)


A. Komunikasi Politik sebagai Kajian Ilmu Politik dan Ilmu Komunikasi.

Sebagai suatu bidang kajian, studi komunikasi politik mencakup dua disiplin dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu politik dan ilmu komunikasi. Dalam ilmu politik, istilah komunikasi politik mulai banyak disebut-sebut bermula dari tulisan Gabriel Almond yang berjudul The Politics of the Development Areas pada tahun 1960. [1] Almond berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam dalam setiap sistem politik.[2] Menurutnya, komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Dalam hal ini, Easton (dalam System Analysis of Political Life, 1965) memberi batasan sistem politik pada berbagai hal yang berkaitan dengan pembuatan dan pelaksanaan keputusan otoritatif.

Berbeda dengan ilmuwan politik yang lebih membahas komunikasi politik berkenaan dengan sistem politiknya, yaitu proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan otoritatif. Ilmuwan komunikasi membahas komunikasi politik berkenaan dengan unsur-unsur komunikasinya sebagai upaya merumuskan suatu komunikasi politik yang efektif (bandingkan dengan Maswadi Rauf, 1993).

Walaupun istilah komunikasi politik mulai populer pada tahun 1960, namun studi –studi tentang komunikasi yang memuat pesan-pesan politik telah ada semenjak lama[3]. Misal: Studi propaganda pada perang dunia yang dilakukan Harold Lasswell pada tahun 1927; Studi tentang tingkah laku pemilih yang dilakukan Lazarfeld, Berelson dan Gaudet pada tahun 1940 di daerah Ohio, yang kemudian dipublikasikan dengan judul The People’s Choice: How the Voter Makes Up His Mind in a Presidential Campaign; Studi perubahan attitude dalam proses komunikasi yang dilakukan Karl Hovland dkk, 1953, Communication and Persuasion: Psychological Studies of Opinion Change; dan sebagainya. Semua studi tersebut telah meletakan dasar –dasar yang kokoh bagi pengembangan studi komunikasi politik.

B. Pengertian dan Definisi komunikasi politik

Pada umumnya para teoritisi menempatkan komunikasi politik dari dua sisi yang terpisah yaitu komunikasi di satu sisi dan politik di sisi lain kemudian dipadukan dalam satu pengertian. Dalam kesempatan ini, kita hanya membahas pengerrtian politik dan komunikasi politik saja.

1. Politik

Secara etimologis, politik berasal dari kata polis yang berarti negara kota pada zaman Yunani kuno. Dalam perkembangannya terdapat beberapa pengertian tentang politik.

Terdapat lima pandangan tentang politik:

  1. Klasik. Politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Aristotle (dalam The Politics, 1972) berpendapat bahwa urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama memiliki moral yang lebih tinggi dari pada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan swasta (kelompok masyarakat). Manusia merupakan makluk politik dan sudah menjadi hakekat manusia untuk hidup dalam polis (negara kota). Kebaikan bersama adalah kepentingan pemerintah, karena lembaga pemerintah dibentuk untuk menyelenggarakan kebaikan bersama.
  2. Kelembagaan. Politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah. Gerth dan Wright Mill (dalam Essays in Sociology, 1961) mengatakan bahwa Weber mencirikan negara sebagai berikut:

1) Terdiri dari berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda, seperti jabatan, lembaga, yang semuanya memiliki tugas yang jelas batasnya.

2) Kekuasaan . Negara memiliki kewenangan yang sah untuk membuat putusan final dan mengikat seluruh warga negara. Para pejabat mempunyai hak untuk menegakkan putusan itu, seperti menjatuhkan hukuman, menanggalkan hak milik.

3) Kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik hanya berlaku dalam batas-batas wilayah negara tersebut.

c. Kekuasaan. William Robson (dalam Political Science, 1954) mendefinisikan ilmu politik sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.

  1. Fungsionalisme. Politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum. Harold Laswell (dalam Politics, 1972) menyatakan bahwa proses politik sebagai masalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana?

1) Medapatkan apa? …. Mendapatkan nilai-nilai

2) Kapan? ….. Ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak.

3) Bagaimana? …. Dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai.

Nilai-nilai adalah hal-hal yang diinginkan, hal-hal yang dikejar manusia dengan derajad kedalaman upaya yang berbeda untuk mencapainya. Terdapat dua jenis nilai, yaitu a. nilai abstrak (prinsip-prinsip hidup yang dianggap baik, misal keadilan, kebebasan, demokrasi), dan b. nilai konkret yang berupa pangan, sandang, papan, fasilitas pendidikan, kesehatan, komunikasi, dll.

Nilai-nilai tersebut dirumuskan dalam dalam bentuk kebijakan umum yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Menurut pendekatan ini, kegiatan mempengaruhi pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum berarti mempengaruhi pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara otoritatif untuk suatu masyarakat.

e. Konflik. Politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Paul Conn (dalam Conflict and Decision Making, 1971) mengatakan bahwa kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum tiada lain sebagai upaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai. Dalam memperjuangkan upaya tersebut sering kali terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan yang bersifat fisik diantara berbagai pihak yang berupaya mendapatkan nilai-nilai dan mereka yang berupaya mempertahankan apa yang selama ini telah mereka dapatkan.

Asumsi-asumsi politik :

  1. Setiap masyarakat menghadapi kelangkaan dan keterbatasan sumber-sumber, sehingga konflik timbul dalam proses penentuan distribusi.
  2. Kelompok yang dominan dalam masyarakat ikut serta dalam proses pendistribusian dan pengalokasian sumber-sumber melalui keputusan politik sebagai upaya menegakkan pelaksanaan keputusan politik.
  3. Pemerintah mengalokasikan sumber-sumber langka pada beberapa kelompok dan individu, tetapi mengurangi atau tak mengalokasikan sumber-sumber itu kepada kepada kelompok dan individu yang lain.
  4. Ada tekanan terus menerus untuk mengalokasikan sumber-sumber yang langka.
  5. Meluasnya tekanan-tekanan, maka kelompok atau individu yang mendapat keuntungan dari pola distribusi sumber yang ada berupaya keras untuk mempertahankan struktur yang menguntungkan.
  6. Makin mampu penguasa meyakinkan masyarakat umum bahwa sistem yang ada memiliki keabsahan (legitimasi) maka makin mantap kedudukan penguasa dan kelompok yang diuntungkan dalam perjuangan mereka menghadapi golongan yang menghendaki perubahan.
  7. Politik merupakan “the art of the possible” , banyak kebijakan ideal dimaksudkan untuk memcahkan persoalan yang dihadapi masyarakat ternyata hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab sulit dilaksanakan dalam kenyataan.
  8. Dalam politik tidak ada yang serba gratis.
  9. Peranan penting dimainkan manusia dalam proses politik, sebagai subyek politik atau menjadi obyek politik.

Berangkat dari lima pendekatan dan asumsi-asumsi politik tersebut di atas dapatlah dirumuskan definisi politik yang lebih komprehensif, yaitu: Politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Batasan-batasan definisi politik di atas adalah sebagai berikut:

a) Interaksi, yaitu hubungan dua arah yang saling mempengaruhi.

b) Pemerintah, yaitu semua lembaga yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan negara.

c) Masyarakat, yaitu seluruh individu dan kelompok sosial (organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, organisasi kepentingan, dll.) yang berinteraksi dengan pemerintah.

d) Proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, yaitu kegiatan lembaga-lembaga pemerintah dan pejabatnya dalam membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan pemerintah. Dalam hal ini kelompok-kelompok masyarakat dapat mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Keputusan politik menyangkut tiga hal, yaitu: a/ ekstratif, penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat; b/ distributif, distribusi dan alokasi sumber-sumber kepada masyarakat; c/ regulatif, pengaturan perilaku anggota masyarakat.

e) Keputusan yang mengikat (otoritatif) yaitu keputusan yang harus ditaati oleh anggota masyarakat. David Easton (dalam System Analysis of Political Life, 1965) memberi beberapa alasan berkenaan dengan ketaatan anggota masyarakat, yaitu: 1) takut paksaan fisik, sanksi psikologis, atau takut dikucilkan masyarakat; 2) kepentingan diri sendiri; 3) tradisi; 4) kesetiaan; 5) merasa terikat dengan kewenangan yang ada, dan 6) kesadaran hukum.

f) Keputusan tentang kebaikan bersama adalah keputusan tentang tujuan masyarakat atau tentang negara dan masyarakat yang dianggap paling baik oleh seluruh anggota masyarakat.

g) Wilayah tertentu, yaitu berupa unit politik, seperti: negara; propinsi; kabupaten.

2. Komunikasi Politik

Seperti definisi politik, definisi komunikasi politik juga terdapat keberagaman. Misal, Dan Nimmo mendefinisi komunikasi politik sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik. Definisi ini menggunakan pendekatan konflik (baca: pandangan politik).

Roelofs (dalam Sumarno & Suhandi, 1993) mendefinisikan komunikasi politik sebagai komunikasi yang materi pesan-pesan berisi politik yang mencakup masalah kekuasaan dan penempatan pada lembaga-lembaga kekuasaan (lembaga otoritatif). Definisi ini menggunakan pendekatan kekuasaan dan kelembagaan (baca: pandangan politik).

Dengan demikian, kita bisa mendefinisikan komunikasi politik berdasarkan pandangan politik (klasik, kekuasaan, kelembagaan, fungsionalis, atau konflik) yang kita gunakan/yakini. Untuk itu saya mengusulkan definisi komunikasi politik sebagai berikut: proses komunikasi yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. (baca juga batasan-batasan definisi politiknya).

Daftar Pustaka:

Alfian, 1993, Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia

Maswadi Rauf, 1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Jakarta: Gramedia.

Dan Nimmo, 1989, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media (Edisi Terjemahan oleh Tjun Surjaman). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sumarno & Suhandi, 1993, Pengantar Studi Komunikasi Politik, Bandung: Orba Shakti.

Zulkarnaen Nasution, 1990, Komunikasi Politik Suatu Pengantar, Jakarta: Yudhistira.



[1] Selanjutnya komunikasi politik dibahas lebih terinci di dalam Gabriel Almond dan Bingham Powell, Comparative Politics a Developmental Approach, Boston: Little Brown, 1966.

[2] Almond berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu dari tujuh fungsi yang dijalankan oleh setiap system politik. Ketujuh fungsi itu adalah sebagai berikut: komunikasi politik;sosialisasi dan rekrutmen politik; artikulasi kepentingan; agregasi kepentingan; pembuatan aturan; aplikasi aturan; pengadilan atas pelaksanaan aturan (rule adjudication).

[3] Saverin & Tankard dalam Communication Theories: Origins, Methods, Uses (1979), mencatat bahwa tahun 1910-1980, pada masa model Bullet Theory; Limmited Effect; Moderate Effects; Powerfull Effects, pesan-pesan politik menjadi kajian utama penelitian dampak komunikasi massa.