Senin, 05 Oktober 2009

KOMUNIKASISEBAGAIILMUPENGETAHUAN

KOMUNIKASI SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

A. PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI
Komunikasi merupakan satu dari disiplin-disiplin yang paling tua tetapi yang paling baru. Orang Yunani kuno melihat teori dan praktek komunikasi sebagai sesuatu yang kritis. Popularitas komunikasi merupakan suatu berkah (a mixed blessing).Teori-teori resistant untuk berubah bahkan dalam berhadapan dengan temuan-temuan yang kontradiktif. Komunikasi merupakan sebuah aktifitas, sebuah ilmu social, sebuah seni liberal dan sebuah profesi. Menurut Ruben&Steward (1998:18-37) perkembangan tersebut adalah sebagai berikut:


1. STUDI KOMUNIKASI AWAL
Sebenarnya sangat sulit untuk mendeteksi kapan dan bagaimana pertama kali dipandang sebagai faktor yang penting dalam kehidupan manusia. Berdasarkan sejarah, komunikasi diekspresikan dan berperan dalam kehidupan manusia yaitu pada abad 5 SM dalam tulisan klasik bangsa Mesir dan Babilonia dan essay dari Hommer yang berjudul Iliad pada abad 3000 SM. Pada tahun 2675 SM melalui ‘The Precepts” adalah berisi panduan komunikasi efektif. Dan juga tampak pada kitab perjajnjian lama (Bible) ketika Tuhan bersabda :Let there be light:and there was light. Dan juga pada masayarakat Yunani yang melakukan kehidupan demokratis dengan komunikasi oral.

2. RETORIKA DAN PIDATO
Ada beberapa tokoh dalam perkembangan studi awal komunikasi antara lain:
a. CORAX DAN TISIAS
Teori komunikasi pertama yang dikembangkan di Greece adalah oleh Corax dan kemudian disusun kembali oleh muridnya Tisias. Teori ini berkaitan dengan berbicara di ruang pengadilan sebagai ketrampilan persuasi.tisias meyakini bahwa persuasi adalah suatu seni yang kemudian disebut retorika. Corax dan Tisias mengembangkan konsep organisasi pesan, yaitu terdiri dari introduction, body, dan kesimpulan.
b. PROTAGORAS
Dia mengembangkan tentang debat. Dia mengajarkan bagaimana seharusnya mennajdi seorang pembicara yang baik.
c. GORGIAS DARI LEONTINI
Dia mengajarkan tentang penggunaan emosional dalam pidato persuasif, penggunaan gaya dan figur-figur yang tepat untuk suatu pidato.
d. ISOCRATES
Dia mengajarkan bagaimana seorang orator seharusnya dilatih dengan seni liberal dan bagaimana menjadi seorang yang baik.
e. ARISTOTELES
Aristoteles dan gurunya Plato adalah tokoh sentral dalam studi komunikasi awal ini. Keduanya yang mengibarkan bahwa komunikasi adalah sebuah seni untuk dipraktekkan dan sebagai area studi. Dia mendeskripsikan komunikasi menjadi suatu orator atau speaker yang memberikan suatu argument untuk dipresentasikan dalam suatu pidato untuk pendengar atau audience. Karya klasiknya adalah The Rhetoric, yang berisi 3 buku yang menekankan pada the speaker, the audience dan speech. Dalam bukunya yang pertama yang memfokuskan pada persuasi yang mengenalkan ethos (sifat sumber), pathos ( emosi dari audience) dan logos ( sifat dari pesan yang disampaikan sumber kepada audience). Buku kedua menekankan pada sifat audience dan bagaimana pembicara dapat membangun emosi audience. Menurut dia faktor demografi mempengaruhi audience (termasuk usia dan kelas sosial) dalam menerima pesan.Dan buku ketiga menekankan pada gaya dan bagaimana suatu pesan dikonstuksikan dan diterima.
f. AUGUSTINE
Dia mengapliksikan komunikasi dalam melakukan interpretasi dari Bible dan tulisan religious lainnya. Dia menyatukan aspek praktis dan teoritis dari studi komunikasi.
g. SIR FRANCIS BACON
Dia mengenalkan pembuatan pidato dan penulisannya yang di susun untuk tujuan praktis.
h. PLATO
Dalam tulisannya Plato menggarisbawahi pentingnya mempelajari retorika yang memberikan kontribusi untuk dapat menjelaskan perilaku manusia. Bidang ini mempelajari sifat kata-kata, sifat manusia, cara mereka hidup, dan segala yang dapat mempengaruhi manusia dalam kehidupannya.
i. CICERO
Dia mengembangkan teori retorika dan melihat komunikasi sebagai persoalan akademik dan praktis. Pandangannya bahwa komunikasi adalah komprehensif yang melibatkan seluruh domain ilmu sosial.
j. QUINTILIAN
Dia mengajarkan bagaimana cara menjadi seorang komunikator yang baik itu perlu dididik.

3. JURNALISME
Praktek jurnalistik dimulai pada tahun 3700 tahun lalu di Mesir, ketika laporan peristiwa-peristiwa pada waktu dituliskan pada makam raja Mesir. Julius Caesar, dan mempunyai laporan resmi mengenai berita-berita sehari-hari yang ditempatkan di tempat-tempat public. Berita itu diperbanyak dan dijual. Pada awalnya surat kabar merupakan campuran dari newsletter, balada, proklamasi, brosur politik, dan pamphlet yang menggambarkan berbagai kejadian. Pertengahan 1600 an muncul surat kabar modern. Surat kabar AS pertama ’Public Occurences Both Foreign and Domestic’ terbit tahun 1690 di Boston.

4. TAHUN 1900-AN-1930-AN PERKEMBANGAN PIDATO DAN JURNALISME
Awal abad 19 pidato muncul sebagai sebuah disiplin tersendiri di AS:
• Tahun 1909 dibentuk (Eastern States Speech Association).Tahun 1910 mengadakan konferensi tahunan pertama.
• Tahun 1914 terbentuk The National Association of Teachers of Public Speaking(sekarang Speech Communication Association)
• Tahun 1915 terbit jurnal ‘Quaterly Journal of Public Speaking’diikuti journal Quaterly Journal of Speech.

5. TAHUN 1940-1N DAN 1950-1N PERTUMBUHAN INTERDISIPLIN
Sejumlah sarjana dari variasi disiplin ilmu sosial mulai mengembangkan teori-teori komunikasi yang merupakan perluasan bidang-bidang komunikasi.Contohnya bidang antropologi yang mengkaji dan gesture-gesture pada budaya-budaya tertentu berdasarkan pada kajian komunikasi non verbal yang lebih luas.peneliti peneliti mulsai memberi perhatian pada persuasi, termasuk bagaiamana propaganda dilakukan, bagaimana opini publik dibentuk dn bagaimana perkembangan media yang memberi kontribusi pada usaha persuasive. Kurt Lewin dan koleganya memimipin penelitian pada kelompok dinamik. Carl Hovland dan Paul Lazarfeld melakukan riset awal pada komunikasi massa.
Ilmuwan sosiologi dan politik mempelajari sifat media massa dalam berbagai aktifitas social dan politik misalnya voting behaviour.Dalam bidang zoology mengkaji mengenai komunikasi diantara binatang-binatang.Demikian juga bidang linguistic , sematik umum, dan semiotic yang memfokuskan pada sifat bahasa dan perannya dalam kehidupan manusia yang mendorong studi ilmu komunikasi. Dalm retorika dan pidato pada akhir tahun 1940an dan 1950an mengkaji mengenai interpretasi oral, suara,dan diksi, debat, theater,fisiologi pidato,dan patologi pidato.Jurnalisme dan studi media massa memberi perhatian pada sifat dan efek media massa dan komunikasi massa.
Sampai akhir tahun 1950an mulai terbentuk The National Society for the Study of Communication (sekarang The International Communication Association)dengan tujuan membuat satu kesatuan hubungan antara pidato, bahasa, dan media.Perkembangan-perkembangan ini mempercepat pertumbuhan komunikasi sebagai sebuah disiplin ilmu.
Pada masa ini banyak muncul tokoh-tokoh antara lain Harold D Lasswell yang mengkaji tentang propaganda politik pada tahun 1948. Satu tahun kemudian Claude Shannon mempublikasikan hasil penelitiannya di Bell Telepon tentang soal mesin dari pengiriman/trnasmisi signal.hasilnya adalah menjadi dasar uytama model Shannon dan Weaver. Wirburr Schramm juga mengkaji bahwa komunikasi merupakan upaya bertujuan untuk menciptakan suatu kesamaan makna diantara sumber dan penerima.Pada tahun 1955 ilmuwan politik Elihu Katz dan Paul Lazarfeld memperkenalkan two step flow model Mereka mengenalkan konsep opinion leader(pemuka pendapat). Dan Bruce Westley dan Malcom S. Maclean,Jr. menyatakan bahwa proses komunikasi adalah dimulai dari penerimaaan pesan bukan dari pengiriman pesan.Hal ini merupakan gabungan antara komunikasi interpersonal dan komunikasi dalam media massa.
6. TAHUN 1960-AN INTEGRASI
Pada tahun 1960 an para ilmuwan melakukan sintesa dari retorika dan pidato, jurnalisme dan media massa, dan disiplin ilmu social lainnya.kontribusi pada integrasi ini ditandai dengan berbagai buku antara lain The Process of Communication(1960), The Effect s of Mass Communication(1960), On Human Communication(1961), Diffusion of Innovations (1962), The Science of Human Commnunication (1963), Understanding Media(1964), and Theories of Mass Communication(1966).
Komunikasi menarik minat beberapa displin lain selama decade 1960an. Para ahli sosiologis memfokuskan pada dinamika kelompok, relasi social, asal pengethuan social. Para ilmuwan politik menulis tentang peran komunikasi dalam pemerintahan,opini public, propaganda dan pembentukan citra politik merupakan bidang komunikasi politik. Pada bidang administrasi memperlajari tentang organisasi, managemen, kepemimpinan, dan jaringan informasi yang menjadi dasar pertumbuhan komunikasi organisasi yang muncul pada tahun 1970an. Bidang antropologi dan linguistic bersama-sama sehingga memunculkan are studi komunikasi antar budaya dan selama tahun 1960an para ahli zoology mengkaji komunikasi binatang.

7. TAHUN 1970-AN DAN AWAL 1980-AN PERTUMBUHAN DAN SPESIALISASI
Dalam periode ini beberapa bidang kajian mulai popular. Perluasan dan spesialisasi bidang mencapai tingkatan tinggi pada periode ini. Komunikasi interpersonal menjadi bidang yang popular seperti mempelajari interaksi nonverbal, ilmu informasi, teori informasi dam sistem informasi dan komunikasi merupakan topic lainnya yang juga menarik. Dismaping itu pada tahun yang sama komunikasi kelompok, organisasi, politik, internasional dan intercultural bermunculan sebagai area studi.
8. AKHIR TAHUN 1980-AN DAN 1990 ABAD INFORMASI
Sebuah masa dimana komunikasi dan tehnologi informasi secara meningkat telah memainkan peran penting di masyarakat kita. Informasi sebagai komoditas. Media baru dan media penyatu. Pengaruh ekonomi dan pasar. Komunikasi sebagai proses. Memperkuat hubungan antardisiplin:
• Psikologi kognitif ( persepsi,interpretasi, penyimpanan dan penggunaan informasi).
• Kajian kritis dan budaya (pengaruh sejarah, social, dan budaya pada penciptaan, transmisi, interpretasi, akibat dan penggunaan pesan)
• Ekonomi (produksi dan konsumsi informasi sebagai sumberdaya ekonomi)
• Ilmu komputer dan rekaya elektrik (penyimpanan, mendapatkan kembali, manipulasi dan transmisi informasi
• Ilmu informasi(klasifikasi, managemen dan penyimpanan infromasi)
• Jurnalisme (sumber infromasi, isi, komunikasi public dan media massa)
• Sastra (penciptaan dan interpretasi pembaca pada materi teks)
• Pemasaran (kebutuhan dan pilihan pengguna untuk adopsi dan penggunaan pesan, produk dan layanan)
• Filsafat( dimensi dari proses komunikasi individual dan media massa)

B. TRADISI-TRADISI DALAM ILMU KOMUNIKASI
Dalam ilmu komunikasi, penelitian terhadap gejala-gejala atau realitas komunikasi telah berkembang sejak lama sehingga dalam ilmu komunikasi dikenal tradisi-tradisi yang unik. Seorang Profesor komunikasi Universitas Colorado, Robert Craig, telah memetakan tujuh (7) bidang tradisi dalam teori komunikasi yang disebut sebagai 7 tradisi dalam Griffin(2000:22-35) , yakni :
1. Tradisi Sosio-Psikologi (komunikasi merupakan pengaruh antarpribadi)
Tradisi ini mewakili perspektif objektif/scientific. Penganut tradisi ini percaya bahwa kebenaran komunikasi bisa ditemukan melalui pengamatan yang teliti dan sistematis. Tradisi ini mencari hubungan sebab-akibat yang dapat memprediksi kapan sebuah perilaku komunikasi akan berhasil dan kapan akan gagal. Adapun indikator keberhasilan dan kegagalan komunikasi terletak pada ada tidaknya perubahan yang terjadi pada pelaku komunikasi. Semua itu dapat diketahui melalui serangkaian eksperimen.
Salah satu tokoh tradisi ini adalah Carl I Hovland, seorang ahli psikologi yang sekaligus peletak dasar-dasar penelitian eksperimen yang berkaitan dengan efek-efek komunikasi. Penelitiannya berupaya:
• Menjadi peletak dasar proposisi empirik yang berkaitan dengan hubungan antara stimulus komunikasi, kecenderungan audiens dan perubahan opini.
• Memberikan kerangka awal untuk membangun teori berikutnya.
Menurut Ilmuwan Yale ini dalam formula who says what to whom with what effect, ada tiga variabel yang memiliki sifat persuasive, yakni:
1. Who---sumber pesan.
2. What---isi pesan.
3. Whom---karakteristik audiens.
Efek utama yang diukur adalah perubahan pendapat yang dinyatakan melalui skala sikap yang diberikan sebelum dan pesan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
Jadi perhatian penting dalam tradisi ini antara lain perihal pernyataan, pendapat(opini), sikap, persepsi, kognisi, interaksi dan efek (pengaruh).

2. Tradisi Cybernetic (komunikasi sebagai pemrosesan informasi)
Ide komunikasi sebagai pemrosesan informasi pertama kali dikemukakan oleh ahli matematik, Claude Shannon. Karyanya, Mathematical Theory Communication diterima secara luas sebagai salah satu benih yang keluar dari studi komunikasi. Teori ini memandang komunikasi sebagai transmisi pesan. Karyanya berkembang selama Perang Dunia kedua di Bell Telephone Laboratories di AS. Eksperimennya dilakukan pada saluran kabel telepon dan gelombang radio bekerja dalam menyampaikan pesan.
Meski eksperimennya sangat berkaitan dengan masalah eksakta, tapi Warren Weaver mengklaim bahwa teori tersebut bisa diterapkan secara luas terhadap semua pertanyaan tentang komunikasi insani (human communication). Maka lahirlah model komunikasi Shannon dan Weaver berikut ini:

Pesan sinyal sinyal pesan


Jadi dalam tradisi ini konsep-konsep penting yang dikaji antara lain pengirim, penerima, informasi, umpan balik, redudancy, dan sistem. Walaupun dalam tradisi ini seringkali mendapat kritik terutama berkenaan dengan pandangan asumtif yang cenderung menyamakan antara manusia dengan mesin dan menganggap bahwa suatu realitas atau gejala timbul karena hubungan sebab akibat yang linier.
3. Tradisi Retorika (komunikasi sebagai ilmu bicara yang sarat seni)
Ada enam keistimewaan yang mencirikan tradisi ini:
1. Keyakinan bahwa berbicara membedakan manusia dari binatang.
2. Ada kepercayaan bahwa pidato publik yang disampaikan dalam forum demokrasi adalah cara yang lebih efektif untuk memecahkan masalah politik.
3. Retorika merupakan sebuah strategi di mana seorang pembicara mencoba mempengaruhi seorang audiens dari sekian banyak audiens melalui pidato yang jelas-jelas bersifat persuasive. Public speaking pada dasarnya merupakan komunikasi satu arah.
4. Pelatihan kecakapan pidato adalah dasar pendidikan kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mampu menciptakan argumen-argumen yang kuat lalu dengan lantang menyuarakannya.
5. Menekankan pada kekuatan dan keindahan bahasa untuk menggerakkan orang banyak secara emosional dan menggerakkan mereka untuk beraksi/bertindak. Pengertian Retorika lebih merujuk kepada seni bicara daripada ilmu berbicara.
6. Sampai tahun 1800-an, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan haknya. Jadi retorika merupakan sebuah keistimewaan bagi pergerakan wanita di Amerika yang memperjuangkan haknya untuk bisa berbicara di depan publik.
4. Tradisi semiotic (komunikasi sebagai proses membagi makna melalui tanda)
Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Sebuah tanda adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang lain. Contohnya asap menandai adanya api. sebagai suatu hubungan antara lima istilah berikut ini:
Lebih lanjut Pawito(2007:23) menyatakan dalam tradisi lebih memusatkan pada perhatian lambang-lambang dan simbol-simbol, dan memandang komunikasi sebagai suatu jembatan antara dunia pribadi individu-individu dengan ruang di mana lambang-lambang digunakan oleh individu-individu untuk membawa makna-makna tertentu kepada khalayak.
Sehingga dalam tradisi ini memungkinkan bahwa individu-individu akan memaknai tanda-tanda secara beragam.
5. Tradisi Socio Kultural (Komunikasi sebagai penciptaan dan pembuatan realitas sosial)
Premis tradisi ini adalah ketika orang berbicara, mereka sesungguhnya sedang memproduksi dan memproduksi kembali budaya. Sebagian besar dari kita beranggapan bahwa kata-kata mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi. Pandangan kita tentang realitas dibentuk oleh bahasa yang telah kita gunakan sejak lahir. Ahli bahasa Universitas Chicago, Edwar Sapir dan Benyamin Lee Whorf adalah pelopor tradisi sosio cultural. Hipotesis yang diusungnya adalah struktur bahasa suatu budaya menentukan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa, dan bahwa bahasa hanya semata-mata digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi tertentu. Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir kita dan cara kita memandang dunia dibentuk oleh struktur gramatika dari bahasa yang kita gunakan.
Secara fungsional, bahasa adalah alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shared), karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Bahasa diungkapkan dengan kata-kata dan kata-kata tersebut sering diberi arti arbiter (semaunya). Contoh; terhadap buah pisang, orang sunda menyebutnya cau dan orang jawa menyebutnya gedang.
Secara formal, bahasa adalah semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan bahasa. Setiap bahasa dapat dikatakan mempunyai tata bahasa/ grammarnya tersendiri. Contoh: sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia yang berbunyi “dimana saya dapat menukar uang ini?”, maka akan ditulis dalam bhasa Inggris “where can I Change some money?”
6. Tradisi Kritis
Tiga asumsi dasar tradisi kritis:
• Menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Ilmuwan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks.
• Mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya mengungkap struktur-struktur yang seringkali tersembunyi
Istilah teori kritis berasal dari kelompok ilmuwan Jerman yang dikenal dengan sebutan “Frankfurt School”. Para teoritisinya mengadopsi pemikiran Marxis. Kelompok ini telah mengembangkan suatu kritik sosial umum, di mana komunikasi menjadi titik sentral dalam prinsip-prinsipnya. Sistem komunikasi massa merupakan focus yang sangat penting di dalamnya. Tokoh-tokoh pelopornya adalah Max Horkheimer, Theodore Adorno serta Herbert Marcuse. Pemikirannya disebut dengan teori kritis. Ketika bangkitnya Nazi di Jerman, mereka berimigrasi ke Amerika. Di sana mereka menaruh perhatian besar pada komunikasi massa dan media sebagai struktur penindas dalam masyarakat kapitalistik, khususnya struktur di Amerika.
Teori kritis menganggap tugasnya adalah mengungkap kekuatan-kekuatan penindas dalam masyarakat melalui analisis dialektika. Teori kritis juga memberikan perhatian yang sangat besar pada alat-alat komunikasi dalam masyarakat. Komunikasi merupakan suatu hasil dari tekanan antara kreativitas individu dalam memberi kerangka pesan dan kendala-kendala sosial terhadap kreativitas tersebut. Salah satu kendala utama pada ekspresi individu adalah bahasa itu sendiri. Kelas-kelas dominan dalam masyarakat menciptakan suatu bahasaa penindasan dan pengekangan, yang membuat kelas pekerja menjadi sangat sulit untuk memahami situasi mereka dan untuk keluar dari situasi tersebut. Kewajiban dari teori kritis adalah menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru yang memungkinkan diruntuhkannya paradigma dominan. Hal itulah yang diungkapkan oleh Jurgen Habermas, tokoh terkemuka kelompok Franfurt School di era berikutnya.
Habermas menaruh perhatian khusus pada dominasi kepentingan teknis dalam masyarakat kapitalis kontemporer. Dalam masyarakat seperti itu, public dan swasta terjalin sampai pada tingkat di mana sector public tidak mampu mempertahankan diri terhadap penindasan kepentingan teknis swasta. Idealnya, public dan swasta seimbang, dan sector public harus cukup kuat untuk memberikan suatu iklim bagi kebebasan gagasan dan debat. Dari bahasan tersebut, jelaslah bahwa Habermas menilai komunikasi sangat penting bagi pembebasan. Bahasa sendiri merupakan hal pokok bagi kehidupan manusia, dan bahasa menjadi alat di mana kepentingan pembebesan dapat dipenuhi. Karenanya, kompetensi komunikasi diperlukan untuk partisipasi yang efektif dalam pengambilan keputusan.
7. Tradisi Fenomenologi (Komunikasi sebagai pengalaman diri dan orang lain melalui dialog)
Meski fenomenologi adalah sebuah filosofi yang mengagumkan, pada dasarnya menunjukkan analisis terhadap kehidupan sehari-hari. Titik berat tradisi fenomenologi adalah pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Bagi seorang fenomenologis, cerita kehidupan seseorang lebih penting daripada axioma-axioma komunikasi. Seorang psikologis, Carl Rogers percaya bahwa kesehatan kliennya akan pulih ketika komunikasinya menciptakan lingkungan yang nyaman baginya untuk berbincang. Dia menggambarkan tiga kondisi yang penting dan kondusif bagi perubahan suatu hubungan dan kepribadian, yakni:
1. Kecocokan/kesesuaian, adalah kecocokan antara perasaan dalam hati individu dengan tampilan luar . Orang yang tidak memiliki kecocokan akan mencoba mempengaruhi, bermain peranan, sembunyi di balik suatu tedeng aling-aling.
2. Hal positif yang tidak bersyarat, adalah sebuah sikap penerimaan yang bukan merupakan kesatuan dalam penampilan.
3. Pemahaman empatik.

Berikut pemetaan ke-7 bidang teori komunikasi berdasarkan perspektif keilmuan objektif (scientific) dan interpretif












PERKEMBANGAN STUDI KOMUNIKASI





SUMBER:
1. Griffin, Em.(ed) 2003. A First Look at Communication Theory, 5 th edition, : New York McGraw Hill
2. Littlejohn, Stephen W. 2001. Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Publishing.
3. Ruben, Brent D, Stewart, Lea P, 1998, Communication and Human Behaviour,USA:Alyn and Bacon
4. Pawito, 2007,Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: ,LKIS.

TEORINORMATIFKOMUNIKASIMASSA

TEORI NORMATIF KOMUNIKASI MASSA

Teori normatif tentang pers mengandung beberapa pandangan tentang harapan masyarakat terhadap pers dan peran yang seharusnya dimainkan oleh pers tersebut. Meskipun setiap bangsa cenderung menganut teori normatif tersendiri yang khas dan rinci, namun masih terdapat beberapa prinsip umum yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi berbagai konsep khusus yang dianut oleh berbagai bangsa. Setiap ragam utama teori normatif ini cenderung dikaitkan dengan sistem politik/pemerintahan dimana pers tersebut menjadi subsistemnya.
Dari dimensi sejarah, pertumbuhan dan perkembangan pers dunia, maka kita mengenal beberapa macam teori atau konsep dasar tentang pers, yang masing-masing mencerminkan sistem sosial dan sistem politik dimana pers itu berkembang. Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam: Teori Pers Otoriter, Teori Pers Liberal, Teori Pers Komunis, Teori Pers Tanggungjawab Sosial. Kemudian, McQuaill (1987) menambahkan lagi dengan dua teori normatif pers. Yaitu: Teori Pers Pembangunan, dan Teori Pers Demokratik-Partisipan.

1. Teori Pers Otoriter (authorian)
Teori otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam teori ini pers berfungsi menunjang negara (kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan pers. Akibatnya sistem pers sepenuhnya berada di bawah pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat bergantung pada kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Dalam sistem ini, manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru dapat berarti kalau ia hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat terbatas. Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting adalah negara. Negara disebut sebagai tujuan akhir dari proses organisasi masyarakat. Negara adalah pusat segala kegiatan. Pengetahuan dan kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi ini harus terkontrol dan terarah, sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan. Berdasarkan asumsi di atas, teori ini cenderung membentuk satu sistem kontrol yang efektif dan menggunakan pers sebagai alat penguasa.
Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut:
• Pers seyogyanya tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak wewenang yang ada.
• Pers selamanya (akhirnya) harus tunduk pada penguasa yang ada.
• Pers seyogyanya menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau dominan mayoritas.
• Penyensoran dapat dibenarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini.
• Kecaman yang tidak dapat diterima terhadap penguasa, penyimpangan dari kebijaksanaan resmi, atau perbuatan yang menentang kode moral dipandang sebagai perbuatan pidana.
• Wartawan atau ahli pers lainnya tidak memiliki kebebasan di dalam organisasi persnya.
Sistem politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini. Abdul Muis (2005) mengatakan bahwa negara-negara yang menganut teori pers otorian, seperti Indonesia di zaman Orde Baru, menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers dengan memberlakukan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Dalam dua undang-undang tersebut, secara tersurat, memberi kewenangan yang sangat signifikan kepada pemerintah untuk mengatur pola-pola komunikasi sistem pers pada waktu itu.

2. Teori Pers Liberal
Sistem pers liberal ini berkembang pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas sebagai akibat timbulnya revolusi industri dan perubahan besar di dalam pemikiran-pemikiran masyarakat di Barat pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad aufklarung (abad pencerahan).
Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya secara alamiah untuk mengejar dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini tidak mungkin berlaku apabila terdapat kontrol dari pemerintah. Menurut paham liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Manusia sebagai makhluk yang menggunakan akalnya untuk mengatur dunia sekelilingnya dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena kemampuan yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan unsur utama dari dunia peradaban dan sekaligus sebagai penggeraknya. Kedudukan istimewa yang diberikan kepada individu dalam masyarakat libertarian ini, mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa fungsi dari masyarakat ialah untuk memajukan kepentingan anggota-anggotanya secara individual. Mengenai hakekat kebenaran dan pengetahuan, paham liberal memandang sebagai tidak berasal dari kelompok kecil orang-orang yang berkuasa atau merupakan monopoli mereka, akan tetapi harus ditemukan sendiri oleh manusia dengan manfaatkan akalnya.
Mengenai kebebasan pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran, manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu, apabila disampaikan melalui pers.
Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut:
• Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihak ketiga.
• Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi.
• Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda dari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dan gangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan setelah terjadinya peristiwa itu.
• Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal.
• Publikasi ”kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran, dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.
• Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.
• Seyoyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor dan ekspor atau pengiriman atau penerimaan ”pesan” di seluruh pelosok negeri.
• Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang sangat tinggi di dalam organisasi mereka.
Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan berlakunya UUDS, pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan perundangan tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial. Realitas kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori pers liberal. Namun, Pers pada masa itu cenderung tidak lagi dipergunakan untuk perjuangan negara –masyarakat dan bangsa- namun dipergunakan sebagai terompet partai/golongan. Banyak surat kabar yang beredar merupakan organ dari partai politik pada sistem politik waktu itu (baca Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila,). Pada waktu itu, Merdeka dan Indonesia Raya merupakan surat kabar yang masih bisa disebut sebagai surat kabar yang netral (memperjuangkan kepentingan bangsa).

3. Teori Pers Komunis
Teori ini berkembang pada awal abad kedua puluh sebagai akibat dari sistem komunis di Uni Soviet. Sistem ini mendasarkan diri pada teori Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh teori Dialektika Hegel. Sesuai dengan sejarah kelahirannya dan pertumbuhannya yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah ideologi komunis dan berdirinya negara Uni Soviet, maka teori pers ini lebih sering disebut dengan istilah Pers Totalitar Soviet atau Pers Komunis Soviet.
Dalam teori komunis ini, pers merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara. Ini berarti bahwa pers harus tunduk pada perintah dan kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya pers pada partai komunis membawa arti yang lebih dalam, yaitusebagai alat dari partai komunis yang berkuasa. Kritik diijinkan dalam pers, tetapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang. Pers melakukan apa yang terbaik menurut pemimpin elit negara dan partai, dan apa yang terbaik bagi elit negara dan partai. Yang dilakukan pers untuk mendukung komunis dan negara sosialis mwerupakan perbuatan moral, sedangkan perbuatan membahayakan atau merintangi pertumbuhan komunis adalah pembuatan immoral. Fungsi pers komunis ditetapkan sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi massa atau pendidikan massa yang dilancarkan oleh partai. Bimbingan dan pendidikan massa ini dilakukan melalui propaganda dan agitasi yang merupakan salah satu aspek terpenting dari fungsi partai dan kegiatan formal negara.
Tunduknya pers secara total kepada partai komunis ini membawa konsekuensi bahwa kebebasan dibatasi untuk menerbitkan berita-berita atau pandangan-pandangan sendiri, demikian juga usahanya memanfaatkan kebebasan untuk sedapat mungkin melayani kepentingan atau pendapat para pembacanya.
Postulat teori ini dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
• Pers seyogyanya melayani kepentingan dari, dan berada di bawah pengendalian, kelas pekerja.
• Pers seyogyanya tidak dimiliki secara pribadi.
• Pers harus melakukan fungsi positif bagi masyarakat dengan: sosialisasi terhadap norma yang diinginkan; pendidikan; informasi; motivasi; mobilisasi.
• Di dalam tugas menyeluruhnya bagi masyarakat, pers seyogyanya tanggap terhadap keinginan dan kebutuhan audiensnya.
• Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya untuk mencegah, atu menghukum setelah terjadinya peristiwa, publikasi anti masyarakat.
• Pers perlu menyediakan pandangan yang purna (complete) dan objektif tentang masyarakat dan dunia, dalam batas-batas prinsip marxisme-leninisme.
• Wartawan adalah profesi yang bertanggung jawab dengan tujuan dan cita-citanya, seyogyanya serupa dengan kepentingan terbaik masyarakat.
• Pers hendaknya mendukung gerakan progresif di dalam dan di luar negeri.

4. Teori Pers Tanggungjawab Sosial
Teori tanggung jawab sosial ini muncul pada permulaan abad kedua puluh sebagai protes terhadap kebebasan yang mutlak dari teori lebertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini merupakan hasil pemikiran para ahli pikir ketika itu yang merasa bahwa teori lebertarian murni dan tradisional sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Teori ini sering dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya, yang menganggap bahwa tanggung jwab pers terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini ingin ditekankan sebagai orientasi yang utama dari pers. Penekanan tanggung jawab moral kepada masyarakat dengan usaha untuk menghindari kemungkinan terjadinya keadaan yang membahayakan kesejahteraan umum. Teori ini berasal dari dari sebagian besar laporan ”Komisi Hutchins” yang diterbitkan pada tahun 1947. dari laporan ini dikembangkan pendapat betapa pentingnya peran pers dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, menekankan pada keharusan akan adanya tanggung jawab sosial dari setiap pers komunikasi.
Para pemilik pers pada teori tanggung jawab sosial yang tidak puas terhadap fungsi pers dalam teori libertarian, berpendapat bahwa pers tidak dapat menjalankan fungsinya secara sempurna. Dalam memberikan pelayanan kepada sistem ekonomi, mereka mengharapkan agar tugas-tugas yang dijalankan oleh pers tidak mendahului fungsi-fungsi pers yang lain, seperti meningkatkan proses demokrasi dan pemberian penerangan kepada masyarakat. Hiburan yang disajikan haruslah hiburan yang baik. Dalam mencukupi keuangan pers-pers individu tertentu, hendaknya diberikan kebebasan untuk mencari pasar.
Theodore Peterson (dalam Rachmadi, 1990) mengatakan bahwa teori tanggung jawab sosial mendasarkan pada pandangannya kepada suatu prinsip bahwa ”kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, dan pers mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam masyarakat modern seperti sekarang ini”.
Prinsip utama teori tanggung jawab sosial adalah sebagai berikut:
• Pers seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat.
• Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, obyektivitas, dan keseimbangan.
• Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, pers seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
• Pers sebaiknya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas eynik atau agama. Pers secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
• Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
• Wartawan dan pers profesional seyogyanya bertanggungjawab terhadap masyarakat dan juga kepada majikan serta pasar.
Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori Pers Tanggungjawab Sosial. Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999 yang berbunyi:
Pasal 15
(3) Anggota Dewan Pers terdiri dari:
a. Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang-bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.

Pasal 17
(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers.
b. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

5. Teori Pers Pembangunan.
Titik tolak bagi teori pembangunan yang tersendiri tentang pers ialah adanya fakta beberapa kondisi umum negara berkembang yang membatasi aplikasi teori lain atau yang mengurangi kemungkinan maslahatnya. Salah satu kenyataan adalah tiadanya beberapa kondisi yang diperlukan bagi pengembangan sistem komunikasi massa: infrastruktur komunikasi; ketrampilan profesional; sumber daya produksi dan budaya; audiens yang tersedia. Faktor lain, yang berhubungan, adalah ketergantungan pada dunia telah berkembang atas hal-hal yang menyangkut produk teknologi, ketrampilan, dan budaya. Ketiga, masyarakat sedang berkembang sangat gandrung menekankan pembangunan ekonomi, politik, dan sosial sebagai tugas utama nasional, untuk mana semua lembaga lain harus bermuara. Keempat, fakta semakin menunjukkan bahwa negara sedang berkembang menyadari keserupaan jatidiri dan kepentingan mereka dalam politik internasional.
Dari berbagai kondisi tersebut muncul seperangkat harapan dan prinsip normatif tentang pers yang menyimpang dari hal-hal yang tampaknya berlaku, baik di dunia kapitalis maupun di dunia komunis. Tentu saja benar bahwa di kebanyakan negara yang dipandang sebagai negara berkembang, pers diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berasal dari teori yang telah dikemukakan sebelumnya –teori otoriter, liberal, tanggung jawab sosial, dan soviet komunis. Meskipun demikian, perlu dikemukakan pernyataan sementara, khususnya dalam pandangan tentang fakta bahwa kebutuhan negara sedang berkembang akan komunikasi di masa lampau cenderung dinyatakan dalam hubungan dengan pengaturan kelembagaan yang ada, dengan penekanan khusus pada peran positif pers komersial untuk merangsang pembangunan atau pada kampanye pers untuk mendorong timbulnya perubahan ekonomi ke arah model masyarakat industri.
Satu hal yang paling menyatukan teori pers pembangunan adalah penerimaan pembangunan ekonomi itu sendiri (yang karenanya perubahan sosial), dan sering kali pembangunan bangsa (notion-building) yang bersangkutan sebagai tujuan utama. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebebasan tertentu dari pers dan para wartawan tunduk pada tanggung jawab mereka untuk membantu pencapaiannya. Pada saat saat yang sama, yang ditekankan adalah tujuan kolektif dan bukan kebebasan individu.
Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut:
• Pers seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas pembangunan positif sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional.
• Kebebasan pers seyogyanya dibatasi sesuai dengan (1) prioritas ekonomi, dan (2) kebutuhan pembangunan masyarakat.
• Pers perlu memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional.
• Pers hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya negara sedang berkembang lainnya yang erat kaitannya secara geografis, kebudayaan, atau politik.
• Para wartawan dan karyawan pers lainnya memiliki tanggung jawab serta kebebasan dalam tugas mengumpulkan informasi dan penyebarluasannya.
• Bagi kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak untuk campur tangan dalam, atau membatasi, pengoperasian pers serta sarana penyensoran, subsidi, dan pengendalian langsung dapat dibenarkan.
Rogers (1976) dalam Communication and Development: Critical Perspective, menyatakan bahwa peranan pers dalam pembangunan dapat efektif apabila:
a. Isi pers relevan dengan jenis-jenis pembangunan yang cocok dengan masyarakatnya;
b. Isi pers relevan dengan perubahan struktur sosial yang diperlukan bagi tercapainya tujuan pembangunan.
Konsep pembangunan pernah juga menjadi wacana (berlanjut menjadi program) dalam kehidupan pers Indonesia. Misal, seperti yang diputuskan dalam sidang Pleno XXV Dewan Pers di Surakarta pada 7-8 Desember 1984 yang tersurat sebagai berikut: ”Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan dan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.”. Begitu juga kebijaksanaan pemerintah di bidang penerangan dan pers pada Repelita IV yang tersurat sebagai berikut:
I. Kegiatan penerangan dan komunikasi sosial dengan pendekatan budaya: disini sasaran pokok adalah pengemangan pribadi manusia Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
II. Kegiatan penerangan dan komunikasi sosial untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional: di sini sasaran pokok adalah kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, wawasan menabung, wawasan produksi untuk ekspor dan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri.
III. Pengembangan informasi budaya politik Pancasila: sasaran pokoknya adalah pembinaan kesadaran masyarakat akan modal dasar bangsa, faktor-faktor dominan bangsa dan kesadaran politik yang menunjang pemantapan Demokrasi Pancasila, dan kehidupan konstitusional, demokrasi dan penegakan hukum.
IV. Penerapan sistem penerangan terpadu: peningkatan koordinasi dan kerja sama semua unsur penerangan bersama pers dan pers lainnya.
V. Pengembangan dan peningkatan kegiatan komunikasi timbal balik: peningkatan peran serta masyarakat untuk ikut memikirkan dan memecahkan masalah-masalah pembangunan.
VI. Peningkatan arus penerangan ke daerah pedesaan dalam rangka pemerataan informasi: peningkatan arus penerangan pembangunan ke desa-desa, terutama daerah-daerah perbatasan, daerah terpencil dan daerah transmigrasi.

6. Teori Pers Demokratik-Partisipan.
Seperti kebanyakan teori, teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori lain dan pengalaman aktual dan sekaligus sebagai gerakan positif ke arah bentuk baru lembaga pers. Lokasinya terutama dalam masyarakat liberal yang telah berkembang tetapi ia bergabung dengan beberapa unsur yang ada dalam teori pers pembangunan, khususnya penekanan pada basis masyarakat, pada nilai komunikasi horisontal, dan bukan pada komunikasi vertikal. Stimulus teori ini adalah reaksi terhadap komersialisasi dan pemonopolian pers yang dimiliki secara pribadi dan terhadap sentralisme dan birokratisasi lembaga siaran publik, yang diadakan sesuai dengan norma tanggungjawab sosial.
Istilah demokratik-partisipan juga mengungkapkan rasa kecewa terhadap partai politik yang ada dan terhadap sistem demokratik parlementer yang tampaknya telah tercabut dari akarnya yang asli, sehingga menghalangi ketimbang memudahkan keterlibatan dalam kehidupan politik dan sosial. Teori pers bebas dipandang gagal karena subversinya berdasarkan pasar dan teori, dan teori tanggung jawab sosial tidak memadai sebagai akibat dari keterlibatan dalam birokrasi pemerintahan dan dalam perswalayanan organisasi dan profesi pers. Pengaturan diri sendiri oleh pers dan tanggung gugat (accountability) organisasi penyiaran besar tidak mencegah pertumbuhan lembaga pers yang mendominasi dari pusat kekuasaan masyarakat atau yang tidak berhasil dalam tugas mereka memenuhi kebutuhan yang timbul dari pengalaman warga negara sehari-hari.
Dengan demikian, titik sentral teori demokratik-partisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi ”penerima” dalam masyarakat politik. Ini ada hubungannya dengan hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak menggunakan sarana komunikasi untuk berinteraksi dalam kelompok maasyarakat yang berskala kecil, kelompok kepentingan subbudaya. Teori ini menolak keharusan adanya pers yang seragam, disentralisasi, mahal, sangat diprofesionalkan, dan dikendalikan oleh pemerintah. Teori ini lebih condong pada keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, deinstitusionalisasi, pertukaran peran antara pengirim dengan penerima, hubungan komunikasi horisontal pada semua tingkat masyarakat, dan interaksi.
Ikhtisar rumusan prinsip teori ini dapat disajikan sebagai berikut:
• Warga negara secara individu dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan pers (hak untuk berkomunikasi) dan hak untuk dilayani oleh pers sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri.
• Organisasi dan isi pers seyogyakan tidak tunduk pada pengendalian politik yang dipusatkan atau pengendalian birokrasi negara.
• Pers seyogyanya ada terutama untuk audiensnya dan bukan untuk organisasi pers, para ahli atau nasabah pers tersebut.
• Kelompok, organisasi, dan masyarakat lokal seyogyanya memiliki pers sendiri.
• Bentuk pers yang berskala kecil, interaktif, dan partisipasif lebih baik ketimbang pers berskala besar, satu arah, dan diprofesionalkan.
• Kebutuhan sosial tertentu yang berhubungan dengan pers tidak cukup hanya diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga melalui negara dan berbagai lembaga utamanya.
• Komunikasi terlalu penting untuk diabaikan oleh para ahli.
Teori pers demokratik-partisipan juga telah mewarnai kehidupan pers Indonesia. Dengan diundangkannya Undang-Undang no 32 tahun 2003, kehidupan pers kita telah mempraktekkan teori ini. Pertumbuhan dan berkembangnya penyiaran-penyiaran komunitas yang menerapkan jurnalisme partisipasi merupakan suatu contoh penerapan dari teori pers demokratik-partisipan.


Daftar Pustaka

A Muis, 2005, Gejolak Aspirasi Kebebasan Pers, Kompas 2 April 2005
Everet Rogers, 1976, Communication and Development: Critical Perspektif, Sage Publication.
Dennis McQuail, 1987, Teori-Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Erlangga.
Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, 1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Grapers, Jakarta.
F. Rachmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara, Grapers, Jakarta.
Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta.

TEORINORMATIFKOMUNIKASIMASSA

TEORI NORMATIF KOMUNIKASI MASSA

Teori normatif tentang pers mengandung beberapa pandangan tentang harapan masyarakat terhadap pers dan peran yang seharusnya dimainkan oleh pers tersebut. Meskipun setiap bangsa cenderung menganut teori normatif tersendiri yang khas dan rinci, namun masih terdapat beberapa prinsip umum yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi berbagai konsep khusus yang dianut oleh berbagai bangsa. Setiap ragam utama teori normatif ini cenderung dikaitkan dengan sistem politik/pemerintahan dimana pers tersebut menjadi subsistemnya.
Dari dimensi sejarah, pertumbuhan dan perkembangan pers dunia, maka kita mengenal beberapa macam teori atau konsep dasar tentang pers, yang masing-masing mencerminkan sistem sosial dan sistem politik dimana pers itu berkembang. Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam: Teori Pers Otoriter, Teori Pers Liberal, Teori Pers Komunis, Teori Pers Tanggungjawab Sosial. Kemudian, McQuaill (1987) menambahkan lagi dengan dua teori normatif pers. Yaitu: Teori Pers Pembangunan, dan Teori Pers Demokratik-Partisipan.

1. Teori Pers Otoriter (authorian)
Teori otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam teori ini pers berfungsi menunjang negara (kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan pers. Akibatnya sistem pers sepenuhnya berada di bawah pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat bergantung pada kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Dalam sistem ini, manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru dapat berarti kalau ia hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat terbatas. Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting adalah negara. Negara disebut sebagai tujuan akhir dari proses organisasi masyarakat. Negara adalah pusat segala kegiatan. Pengetahuan dan kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi ini harus terkontrol dan terarah, sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan. Berdasarkan asumsi di atas, teori ini cenderung membentuk satu sistem kontrol yang efektif dan menggunakan pers sebagai alat penguasa.
Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut:
• Pers seyogyanya tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak wewenang yang ada.
• Pers selamanya (akhirnya) harus tunduk pada penguasa yang ada.
• Pers seyogyanya menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau dominan mayoritas.
• Penyensoran dapat dibenarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini.
• Kecaman yang tidak dapat diterima terhadap penguasa, penyimpangan dari kebijaksanaan resmi, atau perbuatan yang menentang kode moral dipandang sebagai perbuatan pidana.
• Wartawan atau ahli pers lainnya tidak memiliki kebebasan di dalam organisasi persnya.
Sistem politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini. Abdul Muis (2005) mengatakan bahwa negara-negara yang menganut teori pers otorian, seperti Indonesia di zaman Orde Baru, menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers dengan memberlakukan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Dalam dua undang-undang tersebut, secara tersurat, memberi kewenangan yang sangat signifikan kepada pemerintah untuk mengatur pola-pola komunikasi sistem pers pada waktu itu.

2. Teori Pers Liberal
Sistem pers liberal ini berkembang pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas sebagai akibat timbulnya revolusi industri dan perubahan besar di dalam pemikiran-pemikiran masyarakat di Barat pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad aufklarung (abad pencerahan).
Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya secara alamiah untuk mengejar dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini tidak mungkin berlaku apabila terdapat kontrol dari pemerintah. Menurut paham liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Manusia sebagai makhluk yang menggunakan akalnya untuk mengatur dunia sekelilingnya dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena kemampuan yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan unsur utama dari dunia peradaban dan sekaligus sebagai penggeraknya. Kedudukan istimewa yang diberikan kepada individu dalam masyarakat libertarian ini, mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa fungsi dari masyarakat ialah untuk memajukan kepentingan anggota-anggotanya secara individual. Mengenai hakekat kebenaran dan pengetahuan, paham liberal memandang sebagai tidak berasal dari kelompok kecil orang-orang yang berkuasa atau merupakan monopoli mereka, akan tetapi harus ditemukan sendiri oleh manusia dengan manfaatkan akalnya.
Mengenai kebebasan pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran, manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu, apabila disampaikan melalui pers.
Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut:
• Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihak ketiga.
• Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi.
• Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda dari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dan gangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan setelah terjadinya peristiwa itu.
• Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal.
• Publikasi ”kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran, dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.
• Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.
• Seyoyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor dan ekspor atau pengiriman atau penerimaan ”pesan” di seluruh pelosok negeri.
• Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang sangat tinggi di dalam organisasi mereka.
Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan berlakunya UUDS, pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan perundangan tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial. Realitas kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori pers liberal. Namun, Pers pada masa itu cenderung tidak lagi dipergunakan untuk perjuangan negara –masyarakat dan bangsa- namun dipergunakan sebagai terompet partai/golongan. Banyak surat kabar yang beredar merupakan organ dari partai politik pada sistem politik waktu itu (baca Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila,). Pada waktu itu, Merdeka dan Indonesia Raya merupakan surat kabar yang masih bisa disebut sebagai surat kabar yang netral (memperjuangkan kepentingan bangsa).

3. Teori Pers Komunis
Teori ini berkembang pada awal abad kedua puluh sebagai akibat dari sistem komunis di Uni Soviet. Sistem ini mendasarkan diri pada teori Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh teori Dialektika Hegel. Sesuai dengan sejarah kelahirannya dan pertumbuhannya yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah ideologi komunis dan berdirinya negara Uni Soviet, maka teori pers ini lebih sering disebut dengan istilah Pers Totalitar Soviet atau Pers Komunis Soviet.
Dalam teori komunis ini, pers merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara. Ini berarti bahwa pers harus tunduk pada perintah dan kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya pers pada partai komunis membawa arti yang lebih dalam, yaitusebagai alat dari partai komunis yang berkuasa. Kritik diijinkan dalam pers, tetapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang. Pers melakukan apa yang terbaik menurut pemimpin elit negara dan partai, dan apa yang terbaik bagi elit negara dan partai. Yang dilakukan pers untuk mendukung komunis dan negara sosialis mwerupakan perbuatan moral, sedangkan perbuatan membahayakan atau merintangi pertumbuhan komunis adalah pembuatan immoral. Fungsi pers komunis ditetapkan sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi massa atau pendidikan massa yang dilancarkan oleh partai. Bimbingan dan pendidikan massa ini dilakukan melalui propaganda dan agitasi yang merupakan salah satu aspek terpenting dari fungsi partai dan kegiatan formal negara.
Tunduknya pers secara total kepada partai komunis ini membawa konsekuensi bahwa kebebasan dibatasi untuk menerbitkan berita-berita atau pandangan-pandangan sendiri, demikian juga usahanya memanfaatkan kebebasan untuk sedapat mungkin melayani kepentingan atau pendapat para pembacanya.
Postulat teori ini dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
• Pers seyogyanya melayani kepentingan dari, dan berada di bawah pengendalian, kelas pekerja.
• Pers seyogyanya tidak dimiliki secara pribadi.
• Pers harus melakukan fungsi positif bagi masyarakat dengan: sosialisasi terhadap norma yang diinginkan; pendidikan; informasi; motivasi; mobilisasi.
• Di dalam tugas menyeluruhnya bagi masyarakat, pers seyogyanya tanggap terhadap keinginan dan kebutuhan audiensnya.
• Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya untuk mencegah, atu menghukum setelah terjadinya peristiwa, publikasi anti masyarakat.
• Pers perlu menyediakan pandangan yang purna (complete) dan objektif tentang masyarakat dan dunia, dalam batas-batas prinsip marxisme-leninisme.
• Wartawan adalah profesi yang bertanggung jawab dengan tujuan dan cita-citanya, seyogyanya serupa dengan kepentingan terbaik masyarakat.
• Pers hendaknya mendukung gerakan progresif di dalam dan di luar negeri.

4. Teori Pers Tanggungjawab Sosial
Teori tanggung jawab sosial ini muncul pada permulaan abad kedua puluh sebagai protes terhadap kebebasan yang mutlak dari teori lebertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini merupakan hasil pemikiran para ahli pikir ketika itu yang merasa bahwa teori lebertarian murni dan tradisional sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Teori ini sering dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya, yang menganggap bahwa tanggung jwab pers terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini ingin ditekankan sebagai orientasi yang utama dari pers. Penekanan tanggung jawab moral kepada masyarakat dengan usaha untuk menghindari kemungkinan terjadinya keadaan yang membahayakan kesejahteraan umum. Teori ini berasal dari dari sebagian besar laporan ”Komisi Hutchins” yang diterbitkan pada tahun 1947. dari laporan ini dikembangkan pendapat betapa pentingnya peran pers dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, menekankan pada keharusan akan adanya tanggung jawab sosial dari setiap pers komunikasi.
Para pemilik pers pada teori tanggung jawab sosial yang tidak puas terhadap fungsi pers dalam teori libertarian, berpendapat bahwa pers tidak dapat menjalankan fungsinya secara sempurna. Dalam memberikan pelayanan kepada sistem ekonomi, mereka mengharapkan agar tugas-tugas yang dijalankan oleh pers tidak mendahului fungsi-fungsi pers yang lain, seperti meningkatkan proses demokrasi dan pemberian penerangan kepada masyarakat. Hiburan yang disajikan haruslah hiburan yang baik. Dalam mencukupi keuangan pers-pers individu tertentu, hendaknya diberikan kebebasan untuk mencari pasar.
Theodore Peterson (dalam Rachmadi, 1990) mengatakan bahwa teori tanggung jawab sosial mendasarkan pada pandangannya kepada suatu prinsip bahwa ”kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, dan pers mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam masyarakat modern seperti sekarang ini”.
Prinsip utama teori tanggung jawab sosial adalah sebagai berikut:
• Pers seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat.
• Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, obyektivitas, dan keseimbangan.
• Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, pers seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
• Pers sebaiknya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas eynik atau agama. Pers secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
• Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
• Wartawan dan pers profesional seyogyanya bertanggungjawab terhadap masyarakat dan juga kepada majikan serta pasar.
Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori Pers Tanggungjawab Sosial. Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999 yang berbunyi:
Pasal 15
(3) Anggota Dewan Pers terdiri dari:
a. Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang-bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.

Pasal 17
(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers.
b. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

5. Teori Pers Pembangunan.
Titik tolak bagi teori pembangunan yang tersendiri tentang pers ialah adanya fakta beberapa kondisi umum negara berkembang yang membatasi aplikasi teori lain atau yang mengurangi kemungkinan maslahatnya. Salah satu kenyataan adalah tiadanya beberapa kondisi yang diperlukan bagi pengembangan sistem komunikasi massa: infrastruktur komunikasi; ketrampilan profesional; sumber daya produksi dan budaya; audiens yang tersedia. Faktor lain, yang berhubungan, adalah ketergantungan pada dunia telah berkembang atas hal-hal yang menyangkut produk teknologi, ketrampilan, dan budaya. Ketiga, masyarakat sedang berkembang sangat gandrung menekankan pembangunan ekonomi, politik, dan sosial sebagai tugas utama nasional, untuk mana semua lembaga lain harus bermuara. Keempat, fakta semakin menunjukkan bahwa negara sedang berkembang menyadari keserupaan jatidiri dan kepentingan mereka dalam politik internasional.
Dari berbagai kondisi tersebut muncul seperangkat harapan dan prinsip normatif tentang pers yang menyimpang dari hal-hal yang tampaknya berlaku, baik di dunia kapitalis maupun di dunia komunis. Tentu saja benar bahwa di kebanyakan negara yang dipandang sebagai negara berkembang, pers diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berasal dari teori yang telah dikemukakan sebelumnya –teori otoriter, liberal, tanggung jawab sosial, dan soviet komunis. Meskipun demikian, perlu dikemukakan pernyataan sementara, khususnya dalam pandangan tentang fakta bahwa kebutuhan negara sedang berkembang akan komunikasi di masa lampau cenderung dinyatakan dalam hubungan dengan pengaturan kelembagaan yang ada, dengan penekanan khusus pada peran positif pers komersial untuk merangsang pembangunan atau pada kampanye pers untuk mendorong timbulnya perubahan ekonomi ke arah model masyarakat industri.
Satu hal yang paling menyatukan teori pers pembangunan adalah penerimaan pembangunan ekonomi itu sendiri (yang karenanya perubahan sosial), dan sering kali pembangunan bangsa (notion-building) yang bersangkutan sebagai tujuan utama. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebebasan tertentu dari pers dan para wartawan tunduk pada tanggung jawab mereka untuk membantu pencapaiannya. Pada saat saat yang sama, yang ditekankan adalah tujuan kolektif dan bukan kebebasan individu.
Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut:
• Pers seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas pembangunan positif sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional.
• Kebebasan pers seyogyanya dibatasi sesuai dengan (1) prioritas ekonomi, dan (2) kebutuhan pembangunan masyarakat.
• Pers perlu memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional.
• Pers hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya negara sedang berkembang lainnya yang erat kaitannya secara geografis, kebudayaan, atau politik.
• Para wartawan dan karyawan pers lainnya memiliki tanggung jawab serta kebebasan dalam tugas mengumpulkan informasi dan penyebarluasannya.
• Bagi kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak untuk campur tangan dalam, atau membatasi, pengoperasian pers serta sarana penyensoran, subsidi, dan pengendalian langsung dapat dibenarkan.
Rogers (1976) dalam Communication and Development: Critical Perspective, menyatakan bahwa peranan pers dalam pembangunan dapat efektif apabila:
a. Isi pers relevan dengan jenis-jenis pembangunan yang cocok dengan masyarakatnya;
b. Isi pers relevan dengan perubahan struktur sosial yang diperlukan bagi tercapainya tujuan pembangunan.
Konsep pembangunan pernah juga menjadi wacana (berlanjut menjadi program) dalam kehidupan pers Indonesia. Misal, seperti yang diputuskan dalam sidang Pleno XXV Dewan Pers di Surakarta pada 7-8 Desember 1984 yang tersurat sebagai berikut: ”Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan dan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.”. Begitu juga kebijaksanaan pemerintah di bidang penerangan dan pers pada Repelita IV yang tersurat sebagai berikut:
I. Kegiatan penerangan dan komunikasi sosial dengan pendekatan budaya: disini sasaran pokok adalah pengemangan pribadi manusia Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
II. Kegiatan penerangan dan komunikasi sosial untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional: di sini sasaran pokok adalah kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, wawasan menabung, wawasan produksi untuk ekspor dan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri.
III. Pengembangan informasi budaya politik Pancasila: sasaran pokoknya adalah pembinaan kesadaran masyarakat akan modal dasar bangsa, faktor-faktor dominan bangsa dan kesadaran politik yang menunjang pemantapan Demokrasi Pancasila, dan kehidupan konstitusional, demokrasi dan penegakan hukum.
IV. Penerapan sistem penerangan terpadu: peningkatan koordinasi dan kerja sama semua unsur penerangan bersama pers dan pers lainnya.
V. Pengembangan dan peningkatan kegiatan komunikasi timbal balik: peningkatan peran serta masyarakat untuk ikut memikirkan dan memecahkan masalah-masalah pembangunan.
VI. Peningkatan arus penerangan ke daerah pedesaan dalam rangka pemerataan informasi: peningkatan arus penerangan pembangunan ke desa-desa, terutama daerah-daerah perbatasan, daerah terpencil dan daerah transmigrasi.

6. Teori Pers Demokratik-Partisipan.
Seperti kebanyakan teori, teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori lain dan pengalaman aktual dan sekaligus sebagai gerakan positif ke arah bentuk baru lembaga pers. Lokasinya terutama dalam masyarakat liberal yang telah berkembang tetapi ia bergabung dengan beberapa unsur yang ada dalam teori pers pembangunan, khususnya penekanan pada basis masyarakat, pada nilai komunikasi horisontal, dan bukan pada komunikasi vertikal. Stimulus teori ini adalah reaksi terhadap komersialisasi dan pemonopolian pers yang dimiliki secara pribadi dan terhadap sentralisme dan birokratisasi lembaga siaran publik, yang diadakan sesuai dengan norma tanggungjawab sosial.
Istilah demokratik-partisipan juga mengungkapkan rasa kecewa terhadap partai politik yang ada dan terhadap sistem demokratik parlementer yang tampaknya telah tercabut dari akarnya yang asli, sehingga menghalangi ketimbang memudahkan keterlibatan dalam kehidupan politik dan sosial. Teori pers bebas dipandang gagal karena subversinya berdasarkan pasar dan teori, dan teori tanggung jawab sosial tidak memadai sebagai akibat dari keterlibatan dalam birokrasi pemerintahan dan dalam perswalayanan organisasi dan profesi pers. Pengaturan diri sendiri oleh pers dan tanggung gugat (accountability) organisasi penyiaran besar tidak mencegah pertumbuhan lembaga pers yang mendominasi dari pusat kekuasaan masyarakat atau yang tidak berhasil dalam tugas mereka memenuhi kebutuhan yang timbul dari pengalaman warga negara sehari-hari.
Dengan demikian, titik sentral teori demokratik-partisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi ”penerima” dalam masyarakat politik. Ini ada hubungannya dengan hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak menggunakan sarana komunikasi untuk berinteraksi dalam kelompok maasyarakat yang berskala kecil, kelompok kepentingan subbudaya. Teori ini menolak keharusan adanya pers yang seragam, disentralisasi, mahal, sangat diprofesionalkan, dan dikendalikan oleh pemerintah. Teori ini lebih condong pada keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, deinstitusionalisasi, pertukaran peran antara pengirim dengan penerima, hubungan komunikasi horisontal pada semua tingkat masyarakat, dan interaksi.
Ikhtisar rumusan prinsip teori ini dapat disajikan sebagai berikut:
• Warga negara secara individu dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan pers (hak untuk berkomunikasi) dan hak untuk dilayani oleh pers sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri.
• Organisasi dan isi pers seyogyakan tidak tunduk pada pengendalian politik yang dipusatkan atau pengendalian birokrasi negara.
• Pers seyogyanya ada terutama untuk audiensnya dan bukan untuk organisasi pers, para ahli atau nasabah pers tersebut.
• Kelompok, organisasi, dan masyarakat lokal seyogyanya memiliki pers sendiri.
• Bentuk pers yang berskala kecil, interaktif, dan partisipasif lebih baik ketimbang pers berskala besar, satu arah, dan diprofesionalkan.
• Kebutuhan sosial tertentu yang berhubungan dengan pers tidak cukup hanya diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga melalui negara dan berbagai lembaga utamanya.
• Komunikasi terlalu penting untuk diabaikan oleh para ahli.
Teori pers demokratik-partisipan juga telah mewarnai kehidupan pers Indonesia. Dengan diundangkannya Undang-Undang no 32 tahun 2003, kehidupan pers kita telah mempraktekkan teori ini. Pertumbuhan dan berkembangnya penyiaran-penyiaran komunitas yang menerapkan jurnalisme partisipasi merupakan suatu contoh penerapan dari teori pers demokratik-partisipan.


Daftar Pustaka

A Muis, 2005, Gejolak Aspirasi Kebebasan Pers, Kompas 2 April 2005
Everet Rogers, 1976, Communication and Development: Critical Perspektif, Sage Publication.
Dennis McQuail, 1987, Teori-Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Erlangga.
Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, 1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Grapers, Jakarta.
F. Rachmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara, Grapers, Jakarta.
Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta.

TEORIMAKROKOMUNIKASIMASSA

Teori-Teori Makro Komunikasi Massa

Littlejhon (1999), menyampaikan model pengorganisasi teori-teori komunikasi massa ke dalam teori makro dan teori mikro . Teori mikro mengkaji tentang relasi antara media dengan khalayaknya. Para teoritisi yang tertarik dalam relasi media dengan khalayak memfokuskan pada efek-efek terhadap kelompok dan individu-individu dan hasil-hasil dari transaksi media. Sedangkan teori makro komunikasi massa mengkaji media massa dari sisi masyarakat dan institusinya. Para teoritisi yang tertarik dalam relasi antara media dengan masyarakat memberi perhatian pada cara-cara media dilekatkan dalam masyarakat dan pengaruh bersama antara struktur-struktur yang lebih besar dengan media.
McQuail (1987) mengkategorikan teori-teori makro komunikasi massa ke dalam: Teori masyarakat massa; teori-teori aliran Marxis (teori ekonomi politik media; teori kritis; teori hegemoni; pendekatan sosial budaya); dan pendekatan struktural-fungsional.

1. Teori Masyarakat Massa
Teori ini menekankan ketergantungan timbal-balik antara institusi yang memegang kekuasaan dan integrasi media terhadap sumber kekuasaan sosial dan otoritas. Dengan demikian isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi. Namun demikian, meskipun media tidak bisa diharapkan menyuguhkan pandangan yang kritis atau tinjauan lain menyangkut masalah kehidupan, media tetap memiliki kecenderungan yang membantu publik bebas dalam menerima keberadaanya sebagaimana adanya.
Gagasan Teori Masyarakat Massa menyatakan bahwa media sedang mengkorupsi pengaruh-pengaruh order sosial melalui pengaruh mereka terhadap kepasrahan rata-rata orang (Baran & Davis , 2000, p. 39). Perkembangan teori ini seiring dengan berkembangnya masyarakat industri, dimana masyarakat industri dipandang sebagai masyarakat yang dipengaruhi (kadang-kadang negatif) oleh media. Media dilihat mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk membentuk persepsi-persepsi dunia sosial dan memanipulasi tindakan-tindakan secara tidak kentara tetapi sangat efektif. Teori ini menganggap bahwa media mempunyai pengaruh buruk yang dapat merusak kehidupan sosial masyarakat. Sehingga masyarakat memerlukan pertahan terhadap pengaruh-pengaruh media tersebut.
Asumsi-asumsi teori masyarakat massa, adalah sebagai berikut:
• Media dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan, mempunyai kekuatan yang besar dalam masyarakat dan oleh karena itu harus dibersihkan atau dilakukan restrukturasi total.
• Media mempunyai kekuatan menjangkau dan mempengaruhi secara langsung terhadap pemikiran rata-rata orang.
• Ketika pemikiran orang sudah dirusak oleh media, semua bersifat jelek, konsekuensi panjangnya adalah kehancuran kehidupan individu dan juga problem-problem sosial pada skala luas.
• Rata-rata orang mudah mengecam media karena mereka sudah diputus atau diisolir dari institusi sosial tradisional yang sebelumnya memproteksi mereka dari tindakan manipulasi.
• Situasi sosial yang chaos yang diucapkan oleh media akan menjadi sesuatu yang tidak terelakkan, karena terjadi perubahan terhadap kuatnya kontrak sosial pada sistem totaliter.
• Media massa menurunkan nilai bentuk-bentuk budaya tertinggi dan membawa pada kemunduran peradaban secara umum.

Teori Masyarakat Massa sangat erat kaitannya dengan budaya massa, dan teori-teori baru menekankan ide-idenya tentang budaya pop. Media sebenarnya tidak menghilangkan budaya, tetapi justru dapat bermain di dalamnya dan kadang-kadang peranannya kontra produktif dengan perubahan budaya.
Terdapat dua konsep sosiologi yang erat dengan kaitannya dengan masyarakat massa, konsep ini dikemukan Ferdinant Tonnies, yaitu konsep gemeinschaft yang mewakili budaya-budaya tradisional, dan gesellschaft yang mewakili masyarakat industrial modern.
Sementara Emile Durkheim membuat dikotomi yang sama dengan Tonnies tetapi dengan perbedaan mendasar berdasarkan interpretasi kontrak-kontrak sosial modern. Konsepnya adalah mechanical solidarity dan organic solidarity. Solidaritas mekanik merupakan konsep tentang batasan budaya-budaya rakyat dengan melakukan konsensus dan peranan-peranan sosial tradisional. Sedangkan solidaritas organik adalah konsep batasan kontrak sosial modern melalui peranan negosiasi sosial kultural. Solidaritas organik ini dihubungkan dengan manifes demokrasi dan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi baru yang ditunjang oleh information superhighway merupakan akses mediasi bagi masyarakat yang merupakan bentuk representasi demokrasi.
McQuail (1987), menganalisa teori ini direlevansikan dengan konsep kekuasaan dan integrasi.
Relevansi dengan konsep integrasi. Teori masyarakat massa berpangkal dari pandangan bahwa para anggota masyarakat tidak terintegrasi, atau setidak-tidaknya tidak terintegrasi secara sehat. Inti konsep massa yang sebenarnya mengandung dimensi nonintegrasi, tidak saling mengenal satu sama lain, dan diorganisasi secara serampangan.
Relevansi dengan konsep kekuasaan. Teori ini menunjukkan bahwa media dapat dikendalikan atau dikelola secara monopolistik untuk dijadikan sebagai alat utama yang efektif mengorganisasi massa. Media massa biasanya menjadi corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi, serta kepuasan jiwani. Media bukan saja membentuk hubungan ketergantungan warga masyarakat terhadap media dalam penciptaan pendapat, tetapi juga dalam hal penciptaan identitas dan kesadaran.
Baran dan Davis (2000), menyatakan bahwa kekuatan teori ini adalah sebagai berikut:
• Spekulasi tentang efek-efek penting.
• Menyoroti konflik dan perubahan struktural penting di (dalam) kultur modern.
• Menarik perhatian ke isu etika dan kepemilikan media.

2. Teori Ekonomi Politik Media
Teori ekonomi politik media merupakan nama lama yang dihidupkan kembali untuk digunakan dalam menyebutkan sebuah pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi dari pada muatan (isi) ideologis media. Teori ini mengemukakan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media. Menurut tinjauan ini, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat, yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar pelbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan. Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil kerja media dan juga dengan keinginan bidang usaha lainnya untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horizontal (sebagaimana halnya menyangkut minyak, kertas, telekomunikasi, waktu luang, kepariwisataan, dan lain sebagainya).
Littlejhon (1999), mengatakan bahwa menurut teori ini isi media merupakan komoditi untuk dijual di pasar, dan iformasi yang disebarkan dikendalikan oleh apa yang ada di pasar. Sistem ini mengarah pada tindakan yang konservatif dan cenderung menghindari kerugian, yang membuat beberapa jenis programming tertentu dan beberapa media menjadi dominan sementara yang lainnya terbatas/kecil.
Konsekuensi keadaan seperti ini tampak dalam wujud berkurangnya jumlah sumber media independen, terciptanya konsentrasi pada pasar besar, munculnya sikap bodoh terhadap calon khlayak pada sektor kecil. Menurut Murdock dan Golding (dalam McQuail, 1987), efek kekuatan ekonomi tidak langsung secara acak, tetapi terus menerus: “pertimbangan untung rugi diwujudkan secara sistematis dengan memantapkan kedudukan kelompok-kelompok yang sudah mapan dalam pasar media massa besar dan mematikan kelompok-kelompok yang tidak memiliki modal dasar yang diperlukan dan mematikan kelompok-kelompok yang tidak memiliki modal dasar yang diperlukan untuk mampu bergerak. Oleh karena itu, pendapat yang dapat diterima berasal dari kelompok yang cenderung tidak melancarkan kritik terhadap distribusi kekayaan dan kekuasaan yang berlangsung. Sebaliknya, mereka yang cenderung menantang kondisi semacam itu tidak dapat mempublikasikan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan mereka karena mereka tidak mampu menguasai sumber daya yang diperlukan untuk menciptakan komunikasi efektif terhadap khalayak luas.”
Kekuatan utama pendekatan tersebut terletak pada kemampuannya dalam menyodorkan gagasan yang dapat dibuktikan secara empiris, yakni gagasan yang menyangkut kondisi pasar. Salah satu kelemahan pendekatan ekonomi politik ialah unsur-unsur yang berada dalam kontrol publik tidak begitu mudah dijelaskan dalam pengertian mekanisme kerja pasar bebas. Walaupun pendekatan memusatkan perhatian pada media sebagai proses ekonomi yang menghasilkan komoditi (isi), namun pendekatan ini kemudian melahirkan ragam pendekatan baru yang menarik, yakni ragam pendekatan yang menyebutkan bahwa media sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian bahwa media mengarahkan perhatian khalayak ke pemasang iklan dan membentuk perilaku publik media sampai pada batas-batas tertentu.

3. Teori Hegemoni Media
Teori ini kurang memusatkan perhatian pada faktor ekonomi dan struktur ideologi yang mengunggulkan klas tertentu, tetapi lebih menekankan ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan, dan mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya (terutama kelas pekerja), sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Perbedaan teori ini dengan pendekatan Marxis klasik dan pendekatan ekonomi politik terletak pada pengakuannya terhadap lebih besarnya kadar ketidaktergantungannya pada kekuatan ekonomi.
Ideologi sebagai suatu definisi realitas yang kabur dan gambaran hubungan antar kelas, atau hubungan imajiner para individu dengan kondisi keberadaan mereka yang sebenarnya tidaklah dominan dalam pengertian bahwa ideologi itu dipaksakan oleh kelas penguasa, tetapi merupakan pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam mengintepretasi pengalaman tentang kenyataan. Proses interpretasi itu memang berlangsung secara tersembunyi (samar), tetapi terjadi secara terus menerus. Menurut Hall (dalam McQuail, 1987), konsep dominasi, yang berarti pemaksaan kerangka pandangan pandangan secara langsung terhadap kelas yang lebih lemah, melalui penggunaan kekuatan dan keharusan ideologi yang terang-terangan, belumlah cukup untuk menampung semua kompleksitas permasalahan. Orang harus memahami bahwa dominasi berlangsung pada tahap sadar maupun tidak sadar. Dengan kata lain, orang harus melihatnya sebagai alat dari sistem hubungan yang terkait, bukannya sebagai upaya pilih-kasih para individu yang dilakukan secara sadar dan terang-terangan melalui penetapan peraturan dan pengucilan yang dilakukan melalui bahasa dan wacana.
Karya teoritis beberapa pemikir Marxis banyak memberi sumbangan terhadap dasar teori ini. Karya karya itu mengarahkan perhatian ke pelbagai cara yang harus ditempuh untuk menciptakan dan mensyahkan jaringan hubungan kapitalisme, yakni cara-cara yang kurang lebih sesuai dengan keinginan kelas pekerja itu sendiri. Alat bantu yang dapat dimanfaatkan menerapkan upaya tersebut sebagian besar dimungkinkan oleh adanya perkembangan dalam bidang analisis semiologi dan struktur yang menyuguhkan metode untuk mengartikan makna tersembunyi dan menggaris bawahi struktur makna.

4. Teori Kritis
Para ahli teori kritik yang dewasa ini menganut pendekatan yang disebut pendekatan budaya, banyak berhutang budi pada karya penganut aliran Frankfurt, para ahli aliran ini prihatin terhadap tanda-tanda kegagalan ramalan Marxis tentang revolusi perubahan sosial. Untuk menghindari kegagalan tersebut, mereka beralih mengandalkan kemampuan superstruktur, terutama dalam wujud media massa, guna menggantikan proses sejarah perubahan ekonomi. Dalam satu segi, tampaknya telah terjadi kesalahan sejarah karena ideologi kelas dominan digunakan untuk mempertahankan kekuatan ekonomi melalui proses subversi dan asimilasi kelas pekerja.
Budaya massa yang komersial dan universal merupakan sarana utama yang menunjang tercapainya keberhasilan monopoli modal tersebut. Seluruh sistem produksi barang, jasa, dan ide yang diselenggarakan secara massa membuka kemungkinan diterimanya sebagian atau seluruh sistem kapitalisme dengan ketergantungan pada rasionalitas teknologi, konsumerisme, kesenangan jangka pendek, dan mitos tanpa kelas. Komoditi merupakan alat budaya kritik serta perbedaan pendapatpun dapat dipasarkan untuk memperoleh keuntungan, meskipun harus mematikan potensi kritik. Teori Frankfurt menekankan dependensi orang dan kelas pada definisi citra dan perbedaan pendapat yang berlaku umum dalam sistem keseluruhan. Menurut mereka media massa merupakan suatu mekanisme yang mampu mengarahkan perubahan.
Para ahli teori kritik melakukan upaya yang mengkombinasi pandangan serba media dengan dominasi satu kelas sosial. Pandangan mereka mengenai kekuasaan media tidak terlepas dari gagasan yang menekankan pelestarian tatanan yang berlaku, bukannya perubahan.

Pendekatan sosial-budaya
Dewasa ini, pendekatan ini semakin berpengaruh dalam studi media massa, banyak berhutang budi pada aliran Frankfurt dan tradisi analisis humanistis serta sastra. Pendekatan ini diwarnai oleh tinjauan yang lebih positif terhadap produk media massa dan oleh keinginan untuk memahami makna dan peran yang dibawakan oleh budaya mutakhir dalam kehidupan kelompok tertentu dalam masyarakat -golongan muda, kelas pekerja, kelompok etnik minoritas, dan kelompok marjinal. Pendekatan ini juga berupaya untuk menjelaskan cara budaya massa berperan dalam mengintegrasikan dan mematuhkan golongan masyarakat yang berkemungkinan menyimpang dan menentang. Pendekatan ini telah mengarahkan banyak karya yang berkenan dengan produk dan konteks penggunaan budaya mutakhir. Stuart Hall (dalam McQuail, 1987) orang yang paling banyak dikaitkan dengan karya pendekatan ini, menulis tentang pendekatan sosial-budaya sebagai berikut: “Pendekatan ini tidak sependapat dengan peran kebudayaan di masa lalu yang semata-mata bersifat refleksif. Dalam konsepnya, pendekatan ini berpandangan bahwa kebudayaan saling berkaitan erat dengan kegiatan sosial; selanjutnya, semua kegiatan tersebut merupakan bentuk kegiatan manusia yang berlaku di mana-mana. Di samping itu, pendekatan sosial budaya menentang pendekatran superstruktur yang dipakai untuk memformulasikan hubungan antara kekuatan ideal dengan kekuatan material, terutama jika faktor ekonomi terlalu diperhitungkan. Pendekatan sosial-budaya memberi definisi kebudayaan sebagai alat dan nilai yang lahir dari kelompok sosial dan kelas tertentu, berdasarkan kondisi sejarah dan pola hubungannya sendiri. Dengan perangkat alat dan nilai mereka menangani dan memberikan reaksi terhadap kondisi keberadaan mereka.”
Pendekatan sosial-budaya berupaya mendalami pesan dan publik, melalui pemahaman pengalaman sosial pelbagai kelompok kecil masyarakat secara cermat. Kritis, dan terarah, dengantujuan agar dapat memberikan penjelasan menyangkut pola pilihan dan reaksi terhadap media. Masyarakat juga biasanya diberitakan tentang upaya pemegang kekuasaan dalam mengani krisis legitimasi yang berulang kali dan kesulitan ekonomi yang selalu terdapat dalam masyarakat industrialis-kapitalis.
McQuail (1987) menganalisa teori-teori aliran Marxis yang direlevansikan dengan konsep kekuasaan dan integrasi.
Relevansi dengan konsep kekuasaan. Menurutnya teori-teori aliran ini (meskipun terdapat keaneka ragaman pendapat) selalu menekankan kenyataan bahwa media massa pada hakikatnya merupakan alat kontrol kelas penguasa kapitalis. Media komunikasi cenderung dimiliki oleh para anggota kelas berada yang diharapkan mampu untuk menjalankan media tersebut demi kepentingan kelas itu. Dalam teori disebutkan bahwa terdapat hubungan langsung antara pemilikan kekuatan ekonomi dengan penyebaran pesan yang menegaskan legitimasi dan nilai-nilai suatu kelas dalam masyarakat.
Relevansi konsep integrasi. Konsep integrasi sangat menarik perhatian para ahli teori Marxis, menurut mereka ideologi dan nilai-nilai baru dipandang perlu dikembangkan dan disebarluaskan ke dalam masyarakat. Integrasi, menurut teori ini, dapat diartikan pemaksaan konsensus ideologis , mekanisme kontrol sosial yang menguntungkan kelas penguasa, atau berarti kohesi ideologis yang harus diterima oleh kelompok pisis agar dapat melakukan perubahan.



Teori struktural fungsionalis
Teori ini melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari atas beberapa bagian yang saling berkaitan atau subsistem. Setiap subsistem tersebut memiliki peran (menjalankan fungsi) yang berarti. Salah satu di antara sekian banyak subsistem itu adalah media massa. Kehidupan sosial yang teratur memerlukan pemeliharaan terhadap semua bagian masyarakat dan lingkungan sosial secara cermat dan berkesinambungan. Dalam hal ini, media diharapkan dapat menjamin integrasi ke dalam, ketertiban, dan memiliki kemampuan memberikan respon terhadap kemungkinan baru yang didasarkan pada realitas yang sebenarnya.
Teori struktural fungsionalis tidak menganggap perlu adanya pengarahan ideologi bagi media, karena media pada hakekatnya mampu mengarahkan dan mengoreksi dirinya sendiri, sesuai dengan peraturan kelembagaan tertentu yang telah disepakati secara politis. Dalam beberapa hal tertentu teori ini berbeda dengan pendekatan Marxis, terutama dalam segi objektivitas dan aplikasi universalnya. Teori ini melihat media cenderung bernilai sebagai alat untuk memelihara ketertiban masyarakat, bukannya sebagai penggerak perubahan yang potensial.
McQuail (1987) mensarikan kegunaan teori ini sebagai berikut:
 menyajikan kerangka berpikir untuk membahas hubungan antara media massa dan masyarakat dan seperangkat konsep yang sulit diganti.
 Membantu dalam memahami kegiatan utama media dalam kaitannya dengan beberapa aspek struktur dan proses sosial
 Menciptakan jembatan antara pengamat empiris dengan teori normatif yang membahas peran yang seharusnya dibawakan oleh media.


McQuail (1987) menganalisa teori strukturalis fungsional yang direlevansikan dengan konsep kekuasaan dan integrasi sebagai berikut.
Relevansi dengan konsep kekuasaan. Sebenarnya masalah kekuasaan tidak terlalu cocok untuk disoroti dengan teori ini. Meskipun demikian, diakui bahwa penerapan teori tersebut menekankan adanya kebutuhan akan pengarahan, pengendalian, dan kohesi internal dalam suatu sistem sosial supaya struktur sosial berfungsi dengan baik.
Relevansi dengan konsep integrasi. Teori ini menyatakan bahwa kondisi integrasi merupakan syarat mutlak bagi kelancaran (keberlangsungan) setiap sistem sosial. Tanpa integrasi tidak mungkin ada kesepakatan menyangkut tujuan, cara, dan kegiatan terkoordinasi untuk mencapai tujuan itu. Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa dalam masyarakat kompleks terdapat sejumlah cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh kontrol dan konsensus yang diperlukan. Media massa hanyalah merupakan salah satu institusi di antara sekian banyak institusi lain yang juga memiliki tugas yang sama.

Daftar pustaka:
Denis McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa, Jakarta, Erlangga
Stanley J. Baran & Dennis K. Davis, 2000, Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future ed. 2nd, USA: Wadsworth.
Stephen W Littlejhon, 1999, Theories of Human Communication ed. 6th, California: Wadsworth.

SEJARAHKOMUNIKASIMASSA

SEJARAH KOMUNIKASI MASSA

Loncatan sejarah komunikasi bermedia yang penting dicatat adalah pada masa pemerintahan Julius Caesar pada bangsa Romawi (100 – 44 SM). Ia memerintahkan pembuatan media komunikasi yang dapat dibaca oleh umum dan diletakkan di forum Romanum sebagai alat informasi kepada rakyat. Media tersebut dikenal dengan istilah Acta Diurna dan Acta Senatus. Acta Diurna adalah media yang memuat keputusan-keputusan dari rapat rakyat, serta informasi kejadian sehari-hari lainnya. Ditulis setiap hari dan isinya hal-hal yang juga menarik perhatian umum. Acta Senatus adalah media yang memuat laporan-laporan singkat mengenai persidangan Senat dan keputusan-keputusan yang diambilnya. Acta Diurna dianggap sebagai embrional (cikal bakal) dari surat kabar namun belum boleh dikatakan surat kabar karena tidak memenuhi apa yang disyaratkan sebagai surat kabar. Pada waktu itu, terdapat apa yang disebut diurnari, yaitu istilah yang dipakai untuk mereka-mereka yang diutus atau disuruh oleh para tuan tanah, bangsawan-bangsawan untuk mencatat apa yang termuat dalam Acta Diurna. Profesi ini kemudian menjadi embrional profesi wartawan (jurnalis).
Mesin cetak diciptakan oleh Johan Gutenberg pada tahun 1440 Ausburg, Jerman . Sebelum digunakannya mesin cetak -surat; Injil; buku; selebaran; dll.- ditulis dengan tangan. Pada perkembangannya, satu setengah abad kemudian setelah mesin cetak diciptakan, baru mulai digunakan untuk mencetak surat kabar. Hal ini disebabkan karena alasan-alasan politik . Pada waktu itu, terdapat tiga kekuatan dasar yang paling dominan menghambat terbitnya surat kabar cetak sebagai media massa (Suparnadi, 1985), yaitu:
• Divine selection + Divine Right = Doctrine of Divine Right.
Pada waktu ditemukan mesin cetak, Raja dan bangsawan-bangsawan mempunyai kekuasaan yang mutlak di daerah kekuasaannya. Kekuasaan dan hak yang dimiliki raja adalah dianggap diberikan oleh Tuhan (Authoritarian concept). Segala perintah raja dan penguasa harus ditaati dan merupakan peraturan. Itulah sebabnya, penggunaan mesin cetak pada waktu itu yang menentukan adalah raja. Sudah tentu penggunaan mesin cetak dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya, untuk mengukuhkan kekuatan politik raja (strugle to get political power)
• Authoritarian Tradition of Roman Church.
Disamping kekuatan raja, ternyata kekuatan gereja juga diberi angin oleh raja, karena raja sendiri pada waktu itu ingin mendapatkan dukungan gereja yang merupakan kekuatan nyata. Itu sebabnya raja memberikan wewenang penuh kepada gereja untuk turut mengontrol pendapat dan menggunakan (memanfaatkan) mesin cetak. Mesin cetak digunakan untuk kepentingan agama antara lain untuk mencetak (memperbanyak) kitab-kitab Injil dan produk lain yang ada hubungannya dengan kepentingan gereja, sehingga menghambat terbitnya surat kabar.
• Political Philosophy Concept.
Konsep-konsep politik yang dibukukan seperti karya Plato berjudul Republica, yang berisi tentang falsafah kenegaraan yang dijadikan landasan pemerintah pada waktu itu. Di dalamnya terdapat pendapat: para penguasa punya hak menentukan hokum tanpa menghiraukan hal itu salah atau benar. Di samping kekuasaan raja yang otoriter ini dikukuhkan oleh seorang politikus terkenal pada waktu itu Machiavelli (1469-1527) dengan bukunya Il Princip atau The Prince, di situ ia memuji-muji raja yang sanggup membesarkan jajahannya, dan tiada peduli orang lain dengan cara dan alat apa untuk mencapai maksudnya. Menurut ajaran machiavelli yang banyak dianut oleh raja-raja dan penguasa pada waktu itu, segala akal d an perbuatan, baik atau buruk, haram atau halal boleh dipergunakan untuk mencapai maksud politik, asal dalam negeri ada ketentraman dan kemakmuran. Pendapat yang beraneka warna harus dihancurkan. Dia berkata: tujuan dicapai dengan cara apapun yang harus ditempuh.

Tiga kekuatan dominan tersebut di atas makin lama makin mengendor, sejalan dengan berkembangnya libertarian concept sebagai reaksi terhadap authoritarian concept. Liberalisme ini berdasar pada filsafat rasionalisme, dimana manusia dianggap sebagai mahluk yang rasional yang dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, menentukan segala sesuatu sehingga tak boleh dikontrol, harus bebas, campur tangan dalam hal ini dianggap merendahkan martabat manusia.
Surat kabar tercetak pertama kali terbit di Eropa adalah berupa mingguan dengan nama Avisa, Relation, Oder Zeitung di Straatsburg, Jerman, pada tahun 1609. surat kabar di negeri-negeri lain menyusul terbit, seperti Courant of General News di Inggris, Gazette de France di Perancis, dan Boston News Letter di Amerika Serikat pada tahun 1704. Setelah terbitnya surat kabar mingguan, maka dengan adanya kemajuan teknik dan memenuhi kebutuhan akan hausnya berita dan adanya kesadaran betapa pentingnya nilai aktualitas yang obyektif, lahirlah surat kabar harian yang pertama di Eropa, yaitu Leipziger Zeitung yang tebirt di Leipzig (Jerman) pada tahun 1660. dan setelah itu menyusul kota kota/negara-negara lain seperti Daily Courant (Inggris, 1702); Rotterdamsche Courant (Belanda, 1717); Tagblatt der Stadt Zurich (Swiss, 1730); Journal de Paris (Perancis, 1777); Pennsylvania Packet (Amerika Serikat, 1784). Surat kabar-surat kabar tercetak inilah yang mengawali adanya media massa, dimana ciri-ciri surat kabar sebagai media massa terpenuhi dalam hal: aktualitas; periodesitas; universalitas; dan publisitas.
Perkembangan surat kabar selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan teknologi, atau dengan kata lain perkembangan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan serta alat-alat teknologi sangat berpengaruh terhadap pasang surutnya perkembangan surat kabar. Revolusi industri di Inggris menjalar ke Eropa daratan pada kurang lebih pertengahan abad ke 18 mempercepat laju pertumbuhan perusahaan persuratkabaran menjadi suatu industri besar. Diketemukannya mesin ketik, telegraf, telephone dan set linotip menambah ringan kerja di bidang jurnalistik. Di Inggris tumbuh industri surat kabar Daily Mail (1896) yang dipelopori oleh Harold Northcliffe yang terkenal dengan pendapat: if a dog bites a man it is not news, but is a man bites a dog, that is news.


Sejarah Media Massa Indonesia
1. Media massa cetak.
Surat kabar di Indonesia mulai berkembang jauh hari sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Surat kabar telah dipergunakan oleh para pendiri bangsa kita sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Sejak pertengahan abad ke 18, orang-orang Belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Penguasa kolonial mengekang pertumbuhan pers, meskipun penerbitnya terdiri dari orang-orang Belanda sendiri. Tetapi surat kabar yang tumbuh dari akhir abad ke 19 hingga awal abad berikutnya, juga merupakan sarana pendidikan dan latihan bagi orang-orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan di dalamnya (Tribuana Said, 1988). Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles (Agustus 1744 – Juni 1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817), Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar berbahasa Melayu yang pertama adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1956. kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta 1864), dan Biang Lala (Jakarta, 1867). Perkembangan pers di masa penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata telah dapat menggugah cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa.
Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan masyarakat yang mulai terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial, badan-badan kebudayaan, bahkan gerakan-gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh pergerakan, atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi Utomo pada bulan mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk menumbuhkan kesadaran nasioal dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia. Pada gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah surat-surat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat, Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, serta organisasi Persatoean Djoernslis Indonesia (1933) adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari perjuangan nasional secara keseluruhan.
Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa demokrasi terpimpin hingga menjelang Orde Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia kepartaian, sangat berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pola pertentangan antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan dalm dunia pers, sehingga timbul di satu pihak pers pendukung pemerintah (tepatnya prokabinet) dan di lain pihak pers oposisi. Konfigurasi sikap dan kedudukan pers berubah berbarengan dengan terjadinya perubahan pada konfigurasi politik kepartaian dan pemerintahan. Bahkan sebagian pers memilih pola pers bebas seperti di negara liberal, dengan kadar kebebasan dan persepsi tanggung jawab yang banyak ditentukan oleh wartawan masing-masing. Kondisi pers nasional tergambarkan di atas berlaku dalam masa perjuangan mempertahan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1949 dan dalam masa pemerintahan parlementer antara tahun 1950 – 1959. ekses-ekses dari kondisi tersebut di atas adalah pemberontakan-pemberontakan bersenjata, ketidak stabilan sistem pemerintahan, penodaan kebebasan pers, danlain-lain.
Meskipun sistem parlementer telah terkubur sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, pola pertentangan partai-partai masih bertahan. Bahwa pada masa demokrasi terpimpin , wartawan Indonesia umumnya, PWI (didirikan pada 9 Februari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila, tidak terlepas dari latar belakang dan landasan lhirnya gerakan kemabali UUD 1945. Yaitu, pertentangan dan perlawanan terhadap golongan yang ingin menciptakan undang-undang dasar berdasarkan asas dan dasar negara yang lain. Tetapi, karena kepentingan Manipolisasi dan Nasakomisasi yang semakin menonjol, terutama akibat agitasi dan propaganda golongan PKI yang ingin memperbesar pengaruhnya dalam rangka merebut kekuasaan, maka ideologi Pancasila semakin terdesak oleh konsep-konsep revolusi.
Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur Manipolisasi dan Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal ’pembenahan’ kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun 1966. pengembangan pers nasional lebih lanjut diwujudkan dengan mengundangkan UU no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap konsep penerbitan untuk mengatasi represi politik, pada tahun 1980-an banyak surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan ekonomi, budaya, sosial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak kalangan pers yang kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca baru. Fenomena yang paling mencolok ialah menjamurnya jumlah media yang berebut pangsa pasar di kalangan pembaca wanita. Kelompok Femina, misalnya, juga mengelola Ayahbunda, Gadis, dan Sarinah Group. Kelompok Gramedia juga terlihat menghindari ’daerah rawan’ dengan mengelola Nova, Hai, Intisari, Tiara, Bola, Bobo, dan sebagainya.
Kemudian pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.

2. Media massa elektrolit.
Pada tahun 1911, Angkatan Laut Kerajaan Belanda pertama kali mengoperasikan fasilitas radio komunikasi di Sabang, pulau paling barat dari weilayah Indonesia. Fasilitas radio ini digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengatur lalu lintas kapal laut yang melintas Selat Malaka, jalur perdagangan yang sangat sibuk pada waktu itu. Setelah perang dunia pertama usai, tepatnya pada tahun 1925, di Jakarta berdiri Batavia Radio Society atau Radio Batavia Vereniging (BRV), sekelompok broadcaster yang mulai mengudarakan siaran tetap berupa pemutaran musik barat. Lahirnya BRV inilah yang mulai mengawali keberadaan radio siaran di Hindia Belanda (Indonesia).
Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Pada saat itu radio siaran yang ada dihentikan. Kemudian Jepang mendirikan lembaga penyiaran baru yang dinamakan Hoso Kanri Kyoko dengan cabang-cabangnya di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogjakarta, Surakarta, Surabaya, dan Malang. Kedelapan stasiun daerah inilah yang kemudian menjadi embrio pendirian Radio Republik Indonesia (RRI). Pada sebuah pertemuan di Jakarta pada 11 September 1945 RRI didirikan oleh pemerintah Indonesia.
Sejarah sistem penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada 17 Agustus 1962. Hari itu, Televisi Republik Indonesia (TVRI) lahir dan untuk pertama kalinya beroperasi. Dengan pemancar berkekuatan 100 watt, siaran pertama dilakukan untuk menyiarkan peringatan ulang tahun ke 17 proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dari halaman Istana Merdeka Jakarta. Pada awalnya TVRI adalah proyek khusus untuk menyukseskan penyelenggaraan Asian Games ke 4 di Jakarta. Siaran TVRI sehubungan dengan Asian Games dikoordinir oleh Organizing Comitte Asian Games IV yang dibentuk khusus untuk event olah raga itu, di bawah naungan Biro Radio dan Televisi Departemen Penerangan. Mulai 12 November 1962 TVRI mengudara secara reguler setiap hari. Pada 1 Maret 1963 TVRI mulai menayangkan iklan seiring dengan ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui keputusan presiden RI nomer 215 tahun 1963. Namun pada tahun 1981 dengan berbagai alasan politis TVRI tidak diijinkan lagi menayangkan iklan.
Mulai tahun 1988 TVRI mulai mendapat teman dalam penyiaran di Indonesia. Pemerintah telah mulai mengijinkan televisi swasta beroperasi di Indonesia, RCTI (1988), SCTV (1989), TPI (1990), ANTV (1993), INDOSIAR (1995).

Daftar pustaka:
Agus Sudibyo, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta: LkiS.
McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa ed. 2, Jakarta: Erlangga
Nurudin, 2003, Komunikasi Massa, Malang: CESPUR.
Stanley J. Baran & Dennis K. Davis, 2000, Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future, USA: Wadsworth.
Suparnadi, 1987, Sejarah Komunikasi dan Media Cetak, Surakarta: FISIP Program studi Komunikasi Massa UNS.