Senin, 26 April 2010

kompol11

PERIKLANAN POLITIK

Bolland (dalam McNair, 203) mendefinisikan periklanan sebagai penempatan pesan-pesan terorganisir pada media dengan membayar. Begitu juga periklanan politik, dalam pengertian yang sama, mengacu kepada pembelian dan penggunaan tentang ruang periklanan (advertising space), membayar untuk rating komersil, dalam rangka untuk mentransmisikan pesan-pesan politik kepada suatu khalayak. Media yang digunakan meliputi bioskop, billboards, pres, radio, dan televisi.

Iklan politik tidak melulu menyampaikan informasi tentang aneka pilihan yang tersedia untuk dikonsumsi oleh para partisipan politik. Namun iklan juga dirancang untuk membujuk. Dalam bujukan ini, iklan harus secara jernih/nyata menguntungkan politikus. Berkenaan dengan ini kendali kontrol editorial berada di tangan politikus (penerapan pada masing-masing sistem politik berbeda, ingat teorinya Sibert dkk.), bukan pada media. Produser periklanan politik mempunyai kebebasan untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, bagaimana mereka memainkan/mensandiwarakan kekuatan klien mereka dan menyoroti kelemahan lawan.

Periklanan mempunyai dua fungsi pada proses pertukaran di antara suatu produser ( barang, jasa, atau program politik) dan konsumer[1]. Yaitu:

Pertama, periklanan itu menginformasikan. Proses politik diharapkan melibatkan pilihan-pilihan rasional oleh pemberi suara, yang harus didasarkan pada informasi. Sama halnya dengan iklan produk, yang menginformasikan ketersediaan suatu merk, harganya, kegunaannya. periklanan politik kontemporer dapat dilihat sebagai suatu pengertian penting tentang menginformasikan penduduk berkenaan dengan siapa yang berpengaruh (who is standing) dan kebijakan apa yang mereka tawarkan.

Kedua, periklanan itu membujuk (persuasif). Pierre Martineau (dalam McNair, 2003) menyatakan bahwa dalam suatu sistem yang kompetitif, suatu produk harus dipelihara dengan berbagai teknik unggul; harus dinvestasikan dengan nada tambahan (overtones) ke individu-individu konsumen; harus diberkahi dengan kesempurnaan imajinasi dan asosiasi; harus mempunyai banyak orang pada suatu level, jika kita mengharapkan produk itu mencapai tingkat penjualan puncak, jika kita berharap produk itu mencapai penerimaan emosional (seperti loyalitas merk). Menggunakan bahasa Marx: pabrikan menciptakan suatu komoditas/produk dengan pemberkatan (endowing) bahan baku ke nilai pakai/kegunaan. Pengiklan menyampaikan perubahan nilai (perubahan dari bahan baku ke suatu nilai pakai) itu tidak hanya didasarkan pada kegunaan saja, tetapi juga memberikan makna produk itu pada suatu golongan (klas) masyarakat. Sependapat dengan Marx, Boudrillard (dalam McNair,2003) meyakini bahwa setiap produk mempunya tanda nilai (sign-value), berkenaan dengan hirarkhi sosial, perbedaan masing-masing individu, perlakuan khusus terhadap suatu kasta dan kultur mereka, ditemukannya keuntungan, kepuasan pribadi. Komoditas hadir selain karena kegunaannya, juga memberikan penanda[2] makna tentang komoditas itu. Mobil Porche tidak hanya sekedar alat transportasi saja, begitu juga Levi 501 tidak sekedar pakaian pekerja. Sepanjang komoditas diterima pada maknanya itu, periklanan adalah sarana yang paling utama yang dapat digunakan produsen untuk membawa komoditas ke pasar. Fungsi periklanan, membuat komoditas menjadi berarti bagi calon pembelinya, dengan pembeda satu produk dengan produk lain yang secara fungsional serupa. Dan melakukan fungsi ini dengan cara menghubungan dengan keinginan/hasrat konsumen ( budaya, hirarhki, dsb). Dalam periklanan, kreator pesan mencoba untuk menyelaraskan penanda-penanda (dari sautu komoditas) dengan apa yang ada pada audiensnya, sehingga terdapat keakraban, tanda penuh arti. Dengan begitu mereka berharap konsumen menjawab dengan perilaku yang sesuai.

Craven (1996) mengkategorikan teknik iklan ke dalam dua hal, yaitu: imbauan iklan (advertising appeals), dan eksekusi iklan (advertising executions).

· Imbauan iklan bertujuan menarik tanggapan komunikan dari suatu iklan. Imbauan (appeal)[3] merupakan pesan untuk menumbuhkan keinginan komunikan untuk memenuhi kebutuhan yang terpendam. Daya tarik ini dapat dikatakan merupakan dasar dari kandungan iklan, dan merupakan suatu cara untuk menjelaskan bagaimana iklan itu bekerja memotivasi[4], menarik perhatian komunikan.

· Eksekusi iklan adalah bagaimana kandungan iklan itu disampaikan. Misal, iklan minyak pelumas motor Enduro disampaikan dengan cara humor berbau porno – cara Basuki (pelawak) membonceng motor yang dikendarai wanita seperti suatu gaya bersetubuh.

Diamond dan Bates (dalam McNair, 2003) mengidentifikasikan empat fase dari tipe kampanye periklanan politik di Amerika, yaitu:

1. Identitas kandidat, dalam fase ini biografi positif dari kandidat harus harus dikemas sedemikian rupa untuk menumbuhkan kesan yang bagus.

2. Kebijakan kandidat

3. Menyerang lawan, menggunakan hal negatif.

4. Kandidat harus diberkahi dengan pemaknaan positif dalam konteks aspirasi dan nilai-nilai dari orang-orang yang mempunyai hak pilih.

Daftar pustaka:

Philip Kotler, 1997, Marketing Management ed. 9th, perj. Hendra teguh dan Rony Rusli, Jakarta: PT Prenhallindo.

-----------------, 2003, Marketing Management ed. 11th, perj. Benjamin Molan, Jakarta: PT Prenhallindo.

Dan Nimmo, 1987, Political Communication and Public Opinion in America, penerj. Tjun Permadi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

David Craven, 1996, Pemasaran Strategis, jilid 1, Jakarta: Erlangga.

Brian McNair, 2003, An Introduction to Political Communication, ed. 3rd, London: Routledge.



[1] Kotler (2003) melihat fungsi iklan dalam tiga hal. Yaitu: a. Periklanan informatif (misal: memberitahukan pasar tentang suatu produk baru, mengusulkan kegunaan baru suatu produk, menjelaskan cara kerja suatu produk, memberitahu pasar tentang perubahan harga, membangun citra perusahaan); b. Periklanan persuasif (misal: membujuk pembeli untuk membeli, membentuk preferensi merek, mendorong alih merek, mengubah persepsi pembeli tentang atribut produk); dan c. Periklanan pengingat (misal: membuat pembeli tetap ingat produk itu walau tidak sedang musimnya, mempertahankan kesadaran puncak).

[2] Pada awalnya, istilah ini dikembangkan oleh Saussure, salah seorang pelopor semiotika. Baginya tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna. Sebuah tanda terdiri atas penanda dan petanda. Penanda (signifier) merupakan citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan, atau benda. Petanda (signified) merupakan konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda. Dalam semiotika, hubungan antara penanda dan petanda biasa disebut pertandaan (signifikasi).

[3] Jaluddin rakhmat (1994) mengolongkan imbauan pesan sebagai berikut: imbauan rasional; imbauan emosional; imbauan takut; imbauan ganjaran; imbauan motivasional.

[4] Nimmo (1987), dalam Political Communication and Public Opinion in America, menyatakan bahwa di masyarakat terdapat suatu kecenderungan untuk mengharapkan dan memilih rangsangan yang positif ketimbang yang negatif dalam persepsinya. Hal ini menyiratkan bahwa para pemimpin pemerintah dan calon pejabat, setidak-tidaknya dalam periklanan, harus ‘berpikir positif’. Kecenderungan yang positif ini bekerja bersama-sama dengan pengaruh identifikasi partisan (khalayak) dalam membimbing pengiklan politik menuju jalan tengah, non controversial, bahkan pesan yang lembut yang menonjolkan kepribadian yang menarik di atas masalah-masalah yang memecah belah belah. Bagi para pengiklan politik pengenalan terhadap karakteristik sosial anggota khalayak karena dua alasan. Pertama, ada kemungkinan bahwa pola komunikasi dipengaruhi demografi (terdapat perbedaan-perbedaan orang dalam kebiasaan menonton TV karena usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dsb) suatu imbauan iklan kepada kelompok demografi tertentu harus menggunakan lambang-lambang dan diprogramkan melalui media yang cocok bagi khalayak itu. Kedua, para pengiklan politik juga menyadari bahwa alur pesan komunikasi massa tidak hanya satu tahap. Dalam hal ini, mereka juga mengandalkan pengaruh dari para pemuka pendapat (opinion leader).

kompol10

Humas Politik

Melvin Sharpe ( dalam Nugroho Dwidjowijoto, 2004) mendefinisikan humas sebagai komunikasi yang harmonis dalam hubungan jangka panjang antara perusahaan dan publiknya. Publik yang dimaksud di sini, meliputi pemilik, pengelola, pengguna, dan lingkungan.

Ivy Lee merupakan pelopor dalam kegiatan humas, ia merupakan orang pertama yang menjadi konsultan dalam profesi ini, pada tahun 1904. Sedangkan, Clem Whittaker dan Leane Baxter merupakan konsultan pertama dalam humas politik, pada tahun 1933, bironya bernama Champaigns Inc.

McNair (2003) meyakini bahwa humas politik berkenaan dengan 4 kegiatan[1]. Yaitu : managemen media; managemen image; komunikasi internal; dan managemen informasi.

· Managemen media, meliputi aktivitas merancang dan memelihara suatu hubungan positif antara politikus dan media -mengetahui kebutuhan masing-masing dan memanfaatkan karakteristik keduanya untuk mencapai keuntungan maximal.

Bagi politikus, ia perlu memberikan apa yang diinginkan organisasi media -dalam kaitan dengan berita atau pertunjukan, bersamaan dengan itu politikus menggunakan media untuk memperkenalkannya dan memperluas pengaruhnya pada khalayak. Bagi media, ia perlu memberikan apa yang diinginkan oleh politikus – berkenaan dengan saluran komunikasi dan ajang pertunjukkan. Bersamaan dengan itu, media memperluas jaringan sumber berita (jaringan komunikasi/informasi).

· Managemen image. Disatu sisi, meliputi aktivitas membangun image politikus (sebagai individu) yang diselaraskan dengan tujuan organisasi. Di sisi lain, membangun image organisasi (partai, departemen). Aktivitas ini meliputi pembuatan logo, slogan, foto (bagaimana foto dirancang sehingga dapat membangun image yang positif), perancangan iklan, bahasa yang digunakan dalam mengkomunikasikan ide-ide; kebijakan; mengkomentari masalah, dsb.

· Komunikasi internal, meliputi aktivitas membangun/menyediakan saluran komunikasi internal, sebagai upaya menciptakan identitas kelompok; kebersamaan dan kesatuan; integritas; loyalitas; mengkoordinir aktivitas; mengelola feedback. Bentuk nyata dari aktivitas ini, meliputi penerbitan media internal (majalah, tabloid) yang bisa menjadi saluran komunikasi secara horizontal maupun vertikal, penciptaan ruang-ruang publik sebagai ajang berdiskusi; rekreasi, Kegiatan-kegiatan(outbond, wisata, lomba), dsb.

· Managemen informasi, meliputi aktivitas menyampaikan (dengan segera; memperlambat), memanipulasi informasi dalam rangka membangun/menjaga image (politikus; partai; departemen) yang positif, serta menyerang pihak lawan. Informasi dalam konteks ini, merupakan suatu senjata politis yang kuat. Dengan selektivitas penyampaian/penyimpangan/pembatasan merupakan suatu unsur penting dalam memanage pendapat umum (public opinion).

Lebih mendalam, kiat-kiat utama dalam kegiatan humas politik dapat di lihat dalam tabel berikut:

Kiat

Uraian

Publikasi

Partai, politikus, institusi sangat tergantung pada materi yang dipublikasikan untuk menjangkau dan mempengaruhi pasar sasaran (pendapat umum). Ini mencakup laporan tahunan, brosur, artikel, laporan berkala dan majalah perusahaan, serta materi audiovisual. Laporan tahunan hampir berperan seperti brosur penjualan, mempromosikan tiap produk (logo, slogan, gagasan, kritikan, kebijakan) baru kepada pemegang saham (publik). Brosur dapat memainkan peranan penting dalam menginformasikan pelanggan sasaran mengenai produk apa itu, bagaimana cara kerjanya, dan bagaimana merakitnya. Artikel yang ditulis dengan seksama oleh eksekutif perusahaan dapat menarik perhatian pada perusahaan dan produknya. Laporan berkala dan majalah perusahaan dapat membantu membangun citra perusahaan (Partai, politikus, institusi) menyampaikan berita penting kepada pasar sasaran. Materi audiovisual dan multimedia, seperti film, slides dan suara, semakin banyak digunakan sebagai alat promosi.

Peristiwa

Perusahaan dapat menarik perhatian pada produk baru atau kegiatan pemasaran lainnya dengan pengatur peristiwa khusus. Ini mencakup konferensi berita, seminar, jalan-jalan keluar, pameran, kontes dan kompetisi, peringatan hari jadi, serta sponsor olah raga dan budaya yang akan menjangkau masyarakat sasaran.

Berita

Salah satu tugas utama profesional humas adalah menemukan atau menciptakan berita yang mendukung perusahaan, produk, dan orang-orangnya. Penciptaan berita membutuhkan keahlian dalam mengembangkan konsep cerita, merisetnya, dan menulis siaran pers. Namun keahlian seorang humas harus melebihi penyiapan naskah cerita. Membuat media menerima siaran pers dan menghindari konferensi pers membutuhkan keahlian pemasaran dan antar pribadi. Seorang direktur media humas yang baik mengerti kebutuhan pers akan cerita yang menarik dan tepat waktu serta siaran pers yang ditulis dengan baik dan menarik perhatian. Direktur media perlu membangun hubungan yang baik dengan editor dan wartawan. Semakin baik hubungan pers, semakin besar kemungkinan ia memberi cakupan yang lebih banyak dan lebih baik bagi perusahaan.

Pidato

Pidato adalah kiat lain untuk menciptakan publisitas dan perusahaan. Gaya bicara dan penampilan yang penuh kharisma di depan audiens dapat membantu membangun citra perusahaan. Perusahan memilih jurubicara mereka dengan hati-hati dan menggunakan penulis naskah pidato dan pelatih untuk membantu jurubicara mereka meningkatkan kemampuan berbicara di depan umum.

Kegiatan pelayanan masyarakat

Perusahaan dapat meningkatkan citra baik di masyarakat dengan memberikan uang dan waktu dengan niat baik. Perusahaan-perusahaan besar biasanya akan meminta para eksekutif untuk mendukung peristiwa kemasyarakatan di daerah kantor atau pabrik mereka berlokasi. Dalam kesempatan ini, perusahaan akan menyumbangkan sejumlah uang tertentu (biasanya berhubungan dengan jumlah konstituen) untuk sebab tertentu.

Media identitas.

Dalam masyarakat dengan komunikasi yang berlebihan, perusahaan harus bersaing untuk mendapatkan perhatian. Mereka harus berjuang untuk menciptakan identitas visual yang dapat segera dikenali masyarakat. Identitas visual dibawa oleh logo perusahaan, alat tulis, brosur, tanda, formulir bisnis, bangunan, dan cara berpakaian.

Sumber: diadaptasi dari Kotler (1997).

Daftar pustaka:

Philip Kotler, 1997, Marketing Management ed. 9th, perj. Hendra teguh dan Rony Rusli, Jakarta: PT Prenhallindo.

Brian McNair, 2003, An Introduction to Political Communication, ed. 3rd, London: Routledge.



[1] Kotler (1997) dalam Manajemen Pemasaran, menyatakan bahwa Hubungan Masyarakat (humas) melaksanakan lima kegiatan, yaitu:

· Hubungan pers: menyajikan berita dan informasi tentang organisasi secara sangat positif.

· Publikasi produk: mensponsori berbagai usaha untuk mempublikasikan produk tertentu.

· Komunikasi perusahaan: mempromosikan pemahaman tentang organisasi baik melalui komunikasi internal maupun eksternal.

· Lobi: berhubungan dengan badan pembuat undang-undang dan pejabat pemerintah untuk mendukung atau menentang undang-undang dan peraturan.

· Pemberian nasihat: menasehati manajemen mengenai masalah publik dan posisi serta citra perusahaan. Pemberian nasihat ini termasuk juga pada saat terjadi kesalahpahaman produk dan terjadi kekurangpercayaan masyarakat terhadap produk.

kompol9

PEMASARAN POLITIK

Pemasaran

Pemasaran[1] suatu produk memerlukan lebih dari sekedar mengembangkan produk yang baik, menawarkan dengan harga yang menarik, dan membuatnya mudah didapat oleh pelanggan sasaran. Perusahaan harus juga berkomunikasi (komunikasi pemasaran) dengan para pelanggan yang ada sekarang dan pelanggan potensial, pengecer, pemasok, pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan tersebut, dan masyarakat umum.

Sasaran komunikasi pemasaran dan teknik efektif yang dipakai dapat terlihat pada tabel sebagai berikut:

Sasaran komunikasi pemasaran

Teknik paling efektif

Memantapkan kredibitas/kepercayaan

Kehumasan

Menciptakan asosiasi gaya hidup

Iklan, ajang khusus

Mengenalkan dan membangun citra

Iklan

Mendorong pembelian ulang

Promosi penjualan

Menggugah partisipasi pedagang

Promosi penjualan(ke pedagang)

Penghargaan atas loyalitas pelanggan

Program pengumpulan frekuensi

Mengundang keterlibatan khalayak

Ajang khusus

Menjangkau khalayak spesifik

Media khusus

Menunjukkan tanggung jawab sosial

Pemasaran berbasis misi

Mendorong referensi berantai

Pembentukan klub/kelompok

Mendorong pembelian awal/coba-coba

Promosi penjualan

Muncul dalam pemberitaan media

kehumasan

Sumber: Hifni Alifahmi, Sinergi Komunikasi Pemasaran, 2005

Berangkat dari tabel di atas, maka bauran komunikasi pemasaran terdiri dari beberapa cara komunikasi, yaitu:

· Kemasan dan merk (citra dan reputasi)

· Periklanan

· Promosi penjualan

· Hubungan masyarakat dan publisitas

· Ajang khusus pemasaran

· Penjualan secara pribadi

· Pemasaran langsung

· Pemasaran getok tular

· Pelayanan pelanggan

· Promosi di titik akhir penjualan.

Pemasaran Politik

Seperti pemasaran pada umum, para komunikator politik harus juga melakukan komunikasi pemasaran kepada stakeholders (khalayak terkait)-nya. Pemasaran politik[2] berguna untuk memantapkan kredibilitas, mengenalkan dan membangun citra, mengundang keterlibatan khalayak, menunjukkan tanggung jawab sosial, mempertahankan dan menambah kostituennya, dsb.

Contoh operasional pemasaran politik tersaji dalam tabel berikut:

Cara komunikasi

Operasionalisasi

Kemasan dan merek (citra dan reputasi)

· Logo

· Slogan, dll.

Periklanan

· Iklan produk

· Iklan layanan masyarakat

· Iklan pembelaan

· Iklan luar ruang

Humas

· Publisitas produk

· Aneka berita media massa

· Siaran pers,konferensi pers, dll.

Ajang khusus

(special event marketing)

· Pameran/bazar/demo

· Sponsor acara/pertunjukan

· Anugerah/penghargaan

· Lomba/kontes

Pemasaran personal

· Komunikasi tatap-muka

· Presentasi langsung

· Demo produk

Pelayanan konstituen

(customer service)

· Penanganan keluhan, tuntutan

· Klub kader

· Pelayanan event khusus (misal mudik gratis).

Banteng gemuk (PDIP); Pohon beringin (Golkar); Ka’bah (PPP); Bintang Sembilan (PKB); Bulan sabit & padi (PKS) merupakan contoh-contoh dari logo partai politik di Indonesia.

Bersatu untuk maju (Golkar); Bersama kita bisa (Partai Demokrat); Bersih dan peduli (PKS); Jujur, Cerdas, Berani (PAN) merupakan beberapa contoh slogan partai politik. ......

Daftar pustaka:

Philip Kotler, 1997, Marketing Management ed. 9th, perj. Hendra teguh dan Rony Rusli, Jakarta: PT Prenhallindo.

-----------------, 2003, Marketing Management ed. 11th, perj. Benjamin Molan, Jakarta: PT Prenhallindo.

Hifni Alifahmi, 2005, Sinergi Komunikasi Pemasaran, Jakarta: PT Mizan Pustaka.

Brian McNair, 2003, An Introduction to Political Communication, ed. 3rd, London: Routledge.



[1] Philip Kotler (2003) mendefinisikan pemasaran secara sosial dan manajerial. Secara sosial, pemasaran adalah proses sosial yang dengan proses itu individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain. Secara manajerial, pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, dan penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memenuhi sasaran individu dan organisasi.

[2] Adman Nursal (2004), dalam bukunya Marketing Politik: Strategi Memenangkan Pemilu, meyakini bahwa esensi pemasaran politik adalah bagaimana mendorong para pemilih untuk menginvestasikan kepercayaannya pada konstestan tertentu.

kompol8

EFEK KOMUNIKASI POLITIK

A. Pengertian Efek Komunikasi
Lavidge dan Steiner (dalam Saverin & Tankard, 2001) meyakini bahwa proses komunikasi menimbulkan pengaruh-pengaruh, atau biasa disebut efek komunikasi. Efek komunikasi adalah perubahan yang terjadi pada diri penerima pesan komunikasi. Mereka mengelompokkan efek komunikasi ke dalam tiga dimensi atau kategori sebagai berikut:
1. Kognitif (pemikiran/gagasan), berhubungan dengan pengetahuan tentang sesuatu. Pesan-pesan komunikasi menyediakan informasi dan kenyataan-kenyataan yang mengisi bidang pemikiran/gagasan seseorang.
2. Afektif (emosi), berhubungan dengan sikap terhadap sesuatu. Pesan-pesan komunikasi mengubah emosi/ perasaan kita terhadap sesuatu
3. Konatif (motivasi), berhubungan dengan perilaku terhadap sesuatu. Pesan-pesan komunikasi merangsang atau mengarahkan keinginan untuk berbua/melakukan sesuatu.

B. Efek komunikasi Politik
Brian McNair (2003) melihat efek komunikasi politik dari tiga perspektif:
1. Tingkat yang mana perilaku komunikatif yang penuh arti dari para aktor politis, seperti pidato/suara konferensi dan iklan politis, dapat mempengaruhi perilaku dan sikap dari pendengarnya.
2. Bagaimana proses politik dari masyarakat demokratis -praktek dan prosedur mereka- telah terpengaruh oleh pesan-pesan signifikan komunikasi masa.
3. Tingkat dampak yang sistemik menyangkut kenaikan komunikasi politis yang mengedepan masyarakat kapitalis seperti di Inggris dan Amerika.
Selanjutnya McNair menganjurkan -sebagai aturan umum, bahwa efek dari komunikasi politis tidak hanya ditentukan oleh isi dari pesan komunikasi politis itu sendiri, tetapi oleh konteks historis di mana proses komunikasi itu berlangsung, dan terutama lingkungan politis, yang berlaku di setiap waktu. Mutu pesan, kesempurnaan dan ketrampilan tentang konstruksi nya , sama sekali tidak berarti jika pendengar tidaklah mau menerima. Dick Morris (dalam McNair, 2004), menulis suatu laporan ilmiah-nya yang berbunyi sebagai berikut: ”Jika orang banyak/masyarakat tidak akan membeli pendapat dasar-mu, tidak jadi soal berapa banyak kamu membelanjakan atau seberapa baik iklan-mu diproduksi, mereka tidak akan bekerja ”
Menurut McNair, kita dapat menilai efek komunikasi politis pada perilaku dan sikap dengan 3 (tiga) cara:
1. Yang pertama, bagaimana orang-orang yang menjadi khalayak yang diharapkan (intended audience) terpengaruh oleh pesan-pesan komunikasi politis, atau dengan kata lain -bagaimana tanggapan orang-orang tersebut (biasanya berwujud pendapat umum). Dan kemudian membandingkan tanggapan mereka dengan tanggapan kelompok lain yang signifikan.
2. Yang kedua, bagaimana perilaku pemilih sehubungan dengan strategi komunikasi yang dilakukan kontestan dalam suatu kampanye politis.
3. Yang ketiga, bagaimana mengisolasikan efek dari unsur-unsur komunikasi (komunikator; pesan; media; komunikan; dan efek) tertentu. Dimana teknik pencarian data untuk masing-masing unsur komunikasi ini mempunyai pembatasan metodologisnya.
Untuk melakukan cara yang pertama biasanya menggunakan teknik survey, yang kedua dengan teknik polling (jajak pendapat), dan yang ketiga menggunakan teknik eksperimen.
Sementara itu, Dan Nimmo (1993) meyakini bahwa proses komunikasi politik mempunyai beberapa konsekuensi (efek). Yaitu:
1. Sosialisasi politik (belajar tentang politik)
2. Partisipasi politik
3. Mempengaruhi pemberian suara
4. Mempengaruhi pejabat dalam pembuatan kebijakan.

Daftar pustaka:
Brian McNair, 2003, An Introduction to Political Communication, ed. 3rd, London: Routledge.
Dan Nimmo, 1993, Political Communicatian and Public Opinion in America, penerj. Tjun Surjaman. Goodyear Publishing Co.
Werner J. Severin – James W. Tankard, Jr., 2001, Communication Theories: Origin, Methods, & Uses in Mass Media, ed. 5th, penerj. Sugeng Hariyanto, Addison Wesley Longman, Inc.

kompol7

KHALAYAK KOMUNIKASI POLITIK
A. Pengertian Khalayak
Menurut pengertian yang dipakai secara umum dalam komunikasi, maka pihak yang menjadi tujuan disampaikannya sesuatu pesan disebut sebagai penerima (receiver), atau khalayak (audience), atau komunikan. Meskipun demikian hendaklah dicatat bahwa khalayak sebenarnya hanyalah suatu peran yang sementara sifatnya. Sebab ketika pada giliran berikutnya penerima pesan akan memprakarsai penyampaian suatu pesan berikutnya, maka pada saat itu sebenarnya pihak yang tadinya disebut sebagai khalayak itu telah berubah peran menjadi komunikator.
Pengertian yang sama berlaku pula dalam komunikasi politik. Pihak yang tadinya pernah dikenali sebagai komunikator, atau sebagai saluran, pada saat yang lain dapat pula diidentifikasikan sebagai penerima pesan-pesan politik. Tergantung kepada situasi yang berlangsung. Namun begitu pembicaraan khalayak di sini nantinya akan memberi perhatian penekanan yang lebih banyak kepada khalayak dalam arti masyarakat luas atau yang kadangkala disebut juga sebagai publik .
Hennesy (dalam Nasution 1990), berkenaan dengan pelapisan khalayak komunikasi politik, membedakan publik sebagai berikut: a. publik umum (general public); b. publik yang penuh perhatian (the attentive public); c. elit opini dan kebijakan (the leadership public). Di antara semuanya, elit opini dan kebijakan merupakan kalangan yang paling aktif minatnya dalam masalah kepemerintahan dan seringkali sebagai pelaku politik. Sedangkan publik attentive merupakan khalayak yang menaruh perhatian terhadap diskusi-diskusi antar elit politik dan seringkali termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan suatu permasalahan politik. Publik umum terdiri dari hampir separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan.
Publik yang attentive, disebut juga lapisan yang penuh perhatian, merupakan sub-kultur yang khusus dimana kelompok-kelompok kepentingan yang merasa berkepentingan dengan masalah kebijakan umum ketimbang dengan kepentingan khusus. Khalayak yang berperhatian terhadap perkembangan yang berlangsung yang menyangkut kepemerintahan dan politik, merupakan suatu faktor yang amat diperlukan bagi terlaksananya sistem politik yang sehat. Mereka itulah lapisan masyarakat yang mau tahu dan menaruh perhatian pada pekembangan keadaan negaranya.
Publik attentive menempati posisi penting dalam proses opini. Pentingnya posisi tersebut menurut Nimmo (1978) didasarkan pada kenyataan:
1. Karena lapisan publik inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi antar pribadi dalam arus pesan timbal balik antara pemimpin politik dengan publik umum. Publik attentive merupakan khalayak utama (key audience) dalam komunikasi politik.
2. Publik attentive menyertai para pemimpin politik sebagai pembawa konsensus politik. Yakni orang-orang yang digambarkan dalam bagian terakhir yang besar kemungkinannya daripada orang lain menunjang aplikasi spesifik aturan dan nilai-nilai umum demokrasi.
3. Publik attentive membentuk surrogate electorate atau pemilih bayangan dalam periode anatara masa pemilihan. Para politisi biasanya mempersepsikan gelombang arus opini di kalangan publik attentive sebagai representasi dari apa yang diyakini, dinilai, dan diharapkan oleh publik umum (yang kurang berperhatian kepada politik semasa periode di antara dua pemilu). Dengan kata lain, khalayak yang mempunyai perhatian itu merupakan lapisan masyarakat yang berkemauan untuk mengikuti dalam perkembangan politik yang berlangsung.

Dalam suatu penelitian mengenai kebudayaan politik (civic culture) di lima negara, Almond dan Verba (dalam Nasution 1988) mencoba mengetahui bagaimana penilaian anggota masyarakat tentang kompetensi politik dan keikutsertaan mereka dalam mempengaruhi sistem politik di tempat mereka berada. Responden di golongkan ke dalam skala yang menunjukkan sejauh mana mereka mengukur kompetensi diri mereka dalam berhubungan dengan pemerintahnya masing-masing. Skala tersebut didasarkan pada respon mereka terhadap lima pertanyaan yang berhubungan dengan pemerintahan setempat, yang masing-masing berbunyi:
a. Apakah mereka mengerti perkembangan politik di negaranya masing-masing?
b. Apakah mereka merasa bahwa dirinya masing-masing dapat melakukan tindakan untuk mempengaruhi pemerintahnya?
c. Apakah mereka merasa akan melakukan tindakan untuk mempengaruhi pemerintahan masing-masing?
d. Apakah masing-masing merasa dirinya akan berhasil dalam mempengaruhi pemerintah setempat?
e. Apakah masing-masing pernah mencoba mempengaruhi pemerintahannya?




Responden penelitian tersebut kemudian dikelompokkan menjadi high subjective political competence, medium political competence, dan low competence. Mereka yang termasuk tinggi dalam skala subjective competence-nya ternyata besar sekali kemungkinannya merupakan orang-orang yang memang membiarkan dirinya dikenai (exposed) komunikasi politik. Mereka yang tergolong high subjective competence oleh Almond dan Verba disebut sebagai self confident citizen yang berkemungkinan tidak hanya sekedar menjadi penerima(khalayak) dalam komunikasi politik, melainkan besar pula kemungkinannya untuk mengambil bagian dalam proses komunikasi politik itu sendiri. Dibanding dengan warga negara yang kompetensi subjektifnya rendah, maka mereka yang termasuk percaya diri tadi kemungkinan besar menjadi warga negara yang aktif, yakni mengikuti perkembangan politik, mendiskusikan politik, atau menjadi seorang partisan yang lebih aktif. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa golongan warga negara ini menyatakan membutuhkan kampanye pemilu, dan berpendapat bahwasanya warga negara biasanya berkewajiban untuk berpartisipasi dalam sistem politik di negara masing-masing.
Khalayak yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan keadaan politik, memiliki informasi mengenai perkembnangan tersebut, dan mau aktif berpartisipasi, merupakan kebutuhan sistem politik. Menurut pandangan aktifis-rasional, suatu demokrasi yang sukses membutuhkan warga negara yang mau melibatkan diri dan aktif dalam politik, mempunyai dan memperoleh informasi politik, dan mempunyai pengaruh. Selanjutnya jika warga negara itu mengambil keputusan, khususnya keputusan penting tentang bagaimana memberikan suara, merka harus mendasarkan pada penilaian yang cermat atas dasar bukti-bukti dan pertimbangan yang diteliti mengenai alternatif-alternatif dari keputusan tersebut.
Sedangkan warga negara yang pasif, tidak memberikan suara, tidak memperoleh dan mengetyahui informasi, ataupun warga negara yang apatis, merupakan indikasi suatu demokrasi yang lemah. Meskipun kemudian, ada juga yang mempertanyakan model aktifis-rasional tersebut dalam studi mengenai perilaku politik, karena dalam kenyataannya memang warga negara dalam suatu sistem demokrasi jarang yang persis seperti itu. Warga yang dimaksud memang tidaklah sepenuhnya well-informed atau mengetahui keseluruhan, tidak pula semuanya secara khusus aktif, dan proses yang membawa mereka kepada keputusan votingnya tentunya hanya sekedar kalkulasi rasional. Kenyataan tersebut antara lain mendasari kritik bahwa model tadi tidak sepenuhnya akurat mencerminkan kultur kewarganegaraan di Amerika Serikat dan Inggris.

B. Khalayak komunikasi politik yang ideal
Baik dari sudut pandang ilmu politik, maupun dari sudut teori komunikasi terdapat persamaan gambaran mengenai ciri-ciri khalayak yang ideal. Di antara ciri itu adalah bahwa khalayak tersebut haruslah yang mempunyai perhatian untuk mengikuti perkembangan politik yang terjadi di sekelilingnya (dalam proses komunikasi dikenal adanya proses seleksi pada diri khalayak dalam attensi, interpretasi, dan retensi. Jadi adanya perhatian merupakan prasyarat untuk berlangsungnya komunikasi tersebut). Itu berarti khalayak tersebut mempunyai akses informasi yang tertatur, baik melalui saluran antarpribadi ataupun melalui media massa. Dengan perkataan lain, pertama-tama haruslah ada dorongan rasa ingin tahu atau rasa peduli kepada apa yang terjadi di masyuarakat dan negaranya. Dalam hubungan ini dapatlah diasumsikan bahwa, bila masyarakat mengikuti perkembangan politik dan pemerintahan, maka dalam pengertian tertentu mereka itu telah terlibat dalam suatu proses dengan keputusan-keputusan politik dalam arti luas ditetapkan.
Kemauan anggota masyarakat untuk mengikuti perkembangan keadaan merupakan suatu tingkat keterlibatan yang minimal. Kebudayaan kewargaan negara, mencakup suatu rasa kewajiban berpartisipasi dalam aktivitas input politik, sekaligus rasa kompetensi untuk berpartisipasi. Kemauan untuk mengikuti perkembangan politik dan kepemerintahan merupakan komitmen warga negara dalam arti yang terbatas. Namun tanpa hal itu, kebudayaan kewargaan negara yang disebutkan tadi tidak akan ada. Karena itu minat dan kesediaan untuk mengikuti perkembangan keadaan dapat dilihat sebagai cerminan dari komponen kognitif dari orientasi kewargaan negara.
Memang dapat dipahami mengapa partisipasi khalayak yang ideal itu masih sangat sedikit ditemukan pada masyarakat-masyarakat negara yang baru tumbuh. Karena itu untuk sampai pada keadaan khalayak ideal yang dimaksud, lebih dahulu harus dipenuhi berbagai persyaratan. Di antara factor yang menentukan adalah, tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat, tahap pendidikan yang dicapai, pengenaan media, dan tentunya keadaan sosial masyarakat sendiri dalam arti apakah terdapat iklim sosial yang mendorong mereka menjadi ingin tahu dan ikut serta dalam gerak perkembangan politik dan kepemerintahan.
Selanjutnya, berkenaan dengan kompetensi demokrasi seorang anggota masyarakat yang berkaitan erat dengan dipunyainya informasi yang valid tentang issu-issu dan proses-proses politik. Setelah mempunyai informasi, para warga negara pun harus berkemampuan untuk menggunakan informasi yang dimaksud guna menganalisis issu-issu yang dihadapi dan memperangkati strategi-strategi pengaruh mereka dalam proses politik yang berlangsung.

Daftar Pustaka:
Dan Nimmo, 1989, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek (Edisi Terjemahan oleh Tjun Surjaman), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zulkarnaen Nasution, 1990, Komunikasi Politik Suatu Pengantar, Jakarta: Yudhistira.