Rabu, 23 Januari 2008

PENYIARAN INDONESIA


A. Sejarah Penyiaran di Indonesia

Pada tahun 1911, Angkatan Laut Kerajaan Belanda pertama kali mengoperasikan fasilitas radio komunikasi di Sabang, pulau paling barat dari weilayah Indonesia. Fasilitas radio ini digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengatur lalu lintas kapal laut yang melintas Selat Malaka, jalur perdagangan yang sangat sibuk pada waktu itu. Setelah perang dunia pertama usai, tepatnya pada tahun 1925, di Jakarta berdiri Batavia Radio Society atau Radio Batavia Vereniging (BRV), sekelompok broadcaster yang mulai mengudarakan siaran tetap berupa pemutaran musik barat. Lahirnya BRV inilah yang mulai mengawali keberadaan radio siaran di Hindia Belanda (Indonesia).

Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Pada saat itu radio siaran yang ada dihentikan. Kemudian Jepang mendirikan lembaga penyiaran baru yang dinamakan Hoso Kanri Kyoko dengan cabang-cabangnya di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogjakarta, Surakarta, Surabaya, dan Malang. Kedelapan stasiun daerah inilah yang kemudian menjadi embrio pendirian Radio Republik Indonesia (RRI). Pada sebuah pertemuan di Jakarta pada 11 September 1945 RRI didirikan oleh pemerintah Indonesia.

Menengok sejarah RRI berarti mencermati kembali sejarah masa awal kemerdekaan Indonesia. Radio mempunyai peran sentral dalam mengampanyekan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 kepada dunia. Berkat peran radio inilah masyarakat dunia mendengar proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan dukungan-pun segera mengalir dari negara-negara tetangga. Sejarah ini diukir oleh para angkasawan (penyiar radio) Ronodipuro dan Bachtar Lubis, dengan keberaniannya yang luar biasa mengudarakan naskah proklamasi dan mempropagandakan kemerdekaan bangsa Indonesia secara terus menerus dari waktu ke waktu, mulai dari pukul 19.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945.

Sejarah sistem penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada 17 Agustus 1962. Hari itu, Televisi Republik Indonesia (TVRI) lahir dan untuk pertama kalinya beroperasi. Dengan pemancar berkekuatan 100 watt, siaran pertama dilakukan untuk menyiarkan peringatan ulang tahun ke 17 proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dari halaman Istana Merdeka Jakarta. Pada awalnya TVRI adalah proyek khusus untuk menyukseskan penyelenggaraan Asian Games ke 4 di Jakarta. Siaran TVRI sehubungan dengan Asian Games dikoordinir oleh Organizing Comitte Asian Games IV yang dibentuk khusus untuk event olah raga itu, di bawah naungan Biro Radio dan Televisi Departemen Penerangan. Mulai 12 November 1962 TVRI mengudara secara reguler setiap hari. Pada 1 Maret 1963 TVRI mulai menayangkan iklan seiring dengan ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui keputusan presiden RI nomer 215 tahun 1963. Namun pada tahun 1981 dengan berbagai alasan politis TVRI tidak diijinkan lagi menayangkan iklan.

Mulai tahun 1988 TVRI mulai mendapat teman dalam penyiaran di Indonesia. Pemerintah telah mulai mengijinkan televisi swasta beroperasi di Indonesia, RCTI (1988), SCTV (1989), TPI (1990), ANTV (1993), INDOSIAR (1995), .... .

B. Lembaga lembaga Penyiaran Dalam UU 32/2002

Dalam UU RI No. 32 tahun 2002, pada pasal 13 ayat 2 ditegaskan bahwa jasa penyiaran diselenggarakan oleh:

  1. Lembaga penyiaran swasta
  2. Lembaga penyiaran publik
  3. Lembaga penyiaran komunitas
  4. Lembaga penyiaran berlangganan.

LEMBAGA PENYIARAN SWASTA, PUBLIK, DAN KOMUNITAS

ASPEK

SWASTA

PUBLIK

KOMUNITAS

1

2

3

4

Definisi

Lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi

Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.

Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.

Khalayak

Umum, terbuka lebar

Umum, lebih dari satu komunitas

Satu komunitas tertentu saja

Visi

Memberikan hiburan, informasi dan pendidikan, namun semua visi pada implementasinya khususnya untuk produksi dan pemasarannya tetap diperhitungkan berdasarkan prinsip-prinsip pencapaian keuntungan ekonomi.

Meningkatkan kualitas hidup publik. Meningkatkan apresiasi terhadap keanekaragaman ditengah masyarakat dengan harapan menciptakan kehidupan yang harmonis di antara berbagai komunitas yang berbeda.

Meningkatkan kualitas hidup anggota komunitasnya. Secara khusus menjadi lembaga siaran yang bersifat dari, oleh, dan untuk komunitas.

Jangkauan area siaran

Umumnya luas, lebih dari satu propinsi, namun memiliki batasan tertentu.

Bersifat nasional atau daerah. Tetap mengemban misi meningkatkan apresiasi terhadap identitas dan integrasi nasional.

Terbatas, umumnya dalam radius 6 km.

Ukuran kesuksesan

Rating untuk masing-masing program dan pemasukan iklan (rating program yang tinggi akan menarik pemasang iklan)

Kepuasan publik

Kepuasan anggota komunitas

Pemilik/pendiri

Umumnya berbentuk PT, sebagian menjadi PT. Tbk.

Negara atau pemerintah (untuk TVRI, RRI).

Badan hukum nonkomersial, biasanya berbentuk yayasan

Pengambilan keputusan tertinggi

Pemilik modal/para komisaris dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), manajemen operasional akan tunduk pada garis besar ini.

Lembaga supervisi bersama-sama dengan manajemen operasional. Jika lembaga penyiaran publik didirikan oleh pemda atau PT maka lembaga supervisinya harus tetap independen.

Lembaga supervisi komunitas bersama-sama dengan manajemen operasional.

1

2

3

4

Sumber pemasukan

Iklan dalam arti luas, mencakup hard selling (penjualan langsung), sponsorship untuk suatu program atau acara, dll.

APBN untuk lembaga penyiaran public nasional dan APBD untuk lembaga penyiaran public daerah; siaran iklan, dll

Iuran anggota komunitas, hibah, sumbangan tidak mengikat, sponsor, dll.

Kriteria dan jumlah materi iklan

Terbuka luas 20% dari keseluruhan jamtayang

Tidak boleh menerima iklan hard selling, biasanya hanya sponsor program. Maksimal 15% dari keseluruhan jam tayangnya

Iklan layanan masyarakat, bukan iklan hard selling, biasanya berupa sponsor program. Maksimal 10% dari keseluruhan jam tayangnya.

Sumber:

1) UU No 32 tahun 2002.

2) Effendi Gazali, 2003, Kontruksi Sosial Lembaga Penyiaran, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, Jakarta.

Lembaga Penyiaran Berlangganan merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.

Lembaga penyiaran berlanggan memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multi media, atau media informasi lainnya.

Lembaga penyiaran berlanggan terdiri dari: Lembaga penyiaran berlanggan melalui satelit; Lembaga penyiaran berlanggan melalui kabel; dan Lembaga penyiaran berlanggan melalui terestrial.

Pembiayaan Lembaga penyiaran berlanggan berasal dari: a. Iuran berlanggan; b. Usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.

Lembaga penyiaran berlanggan melalui kabel dan melalui terestial harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: memeliki jangkauan siaran yang meliputi satu daerah layanan sesuai dengan izin yang diberikan; dan menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.

Daftar Pustaka

Agus Sudibyo, 2004, Ekonomi Politik Media penyiaran, LkiS, Yogjakarta.

Effendy Gazali, 2003, Kontruksi Sosial Lembaga Penyiaran, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, Jakarta.

Krisna Sen david Hill, 2001, Media, Budaya dan Politik Indonesia, ISAI, Jakarta.

Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Undang Undang Nomer 32 tahun 2002.

SISTEM PERS INDONESIA

A. Pengertian dan ciri-ciri pers

Istilah pers berasal dari bahasa Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknafiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (Effendy,1994).

Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita.

Meskipun pers mempunyai dua pengertian seperti diterangkan di atas, pada umumnya orang menganggap pers itu pers cetak: suart kabar dam majalah. Anggapan umum seperti itu disebabkan oleh ciri khas yang terdapat pada media itu, dan tidak dijumpai pada media lain.

Ciri-ciri komunikasi massa adalah sebagai berikut: komunikasi dengan menggunakan pers; proses berlangsung satu arah; komunikatornya melembaga; pesan bersifat umum; medianya menimbulkan keserempakan; dan komunikannya bersfat heterogen (Effendy, 1994).

Sedangkan Haris Sumadiria (2004) mengatakan ciri-ciri pers adalah sebagai berikut:

1. Periodesitas. Pers harus terbit secara teratur, periodek, misalnya setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, dan sebagainya. Pers harus konsisten dalam pilihan penerbitannya ini.

2. Publisitas. Pers ditujukan (disebarkan) kepada khalayak sasaran yang sangat heterogen. Apa yang dimaksud heterogen menunjuk dua hal, yaitu geografis dan psikografis. Geofrafis menunjuk pada data administrasi kependudukan, seperti jenis kelamin, kelompok usia, suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan psikografis menunjuk pada karakter, sifat kepribadian, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya.

3. Aktualitas. Informasi apapun yang disuguhkan media pers harus mengandung unsur kebaruan, menunjuk kepada peristiwa yang benar-benar baru terjadi atau sedang terjadi. Secara etimologis, aktualitas (actuality) mengandung arti kini dan keadaan sebenarnya, secara teknis jurnalistik, aktualitas mengandung tiga dimensi: kalender;waktu; masalah. Aktualitas kalender berarti merujuk kepada berbagai peristiwa yang sudah tercantum atau terjadwal dalam kalender. Aktualitas waktu berkaiutan dengan peristiwa yang baru saja terjadi, atau sesaat lagi akan terjadi. Aktualitas masalah berhubungan dengan peristiwa yang dilihat dari topiknya, sifatnya, dimensi dan dampaknya, kharakteristiknya, mencerminkan fenomena yang senantiasa mengandung unsur kebaruan.

4. Universalitas. Berkaitan dengan kesemestaan pers dilihat dari sumbernya dan dari keanekaragaman materi isinya.

5. Objektivitas. Merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh oleh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Setiap berita yang disuguhkan itu harus dapat dipercaya dan menarik perhatian pembaca.

Ciri-ciri tersebut dipenuhi, baik oleh pers cetak surat kabar dan majalah maupun oleh pers elektrolit radio dan televisi. Kendati demikian, antara pers cetak dan pers elektrolit itu terdapat perbedaan yang khas, yakni pesan-pesan yang disiarkan oleh pers elektrolit hanya diterima sekilas dan khalayak harus selalu berada di depan pesawat, sedangkan pesan-pesan yang disiarkan pers cetak dapat diulangkaji dan dipelajari serta disimpan untuk dibaca pada tiap kesempatan.

Pers adalah lembaga kemasyarakatan, sebagai lembaga kemasyarakatan, pers merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karenanya pers dipengaruhi bahkab ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi.

Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers komunis, teori pers tanggungjawab sosial.

Bagaimana dengan pers di Indonesia? Pengertian pers di Indonesia sudah jelas sebagaimana tercantum pada Undang-undang nomer 40 tahun 1999, seperti tersurat sebagai berikut:

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, megolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Definisi pers tersebut menunjukkan bahwa pers di Indonesia tegas-tegas merupakan lembaga kemasyarakatan bukan lembaga pemerintah, bukan terompet pemerintah. Dengan kata lain, pers kita menganut teori tanggung jawab sosial. Mengenai hal ini secara jelas dicantumkan pada pasal 15 (tentang peran dewan pers dan keanggotaan dewan pers), dan pasal 17 (tentang peranan masayarakat dalam kehidupan pers) UU no 40 tahun 1999.

Ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila bertumpu pada tiga pilar penyangga utama yang satu sama lain berfungsi saling menopang (Haris Sumadiria, 2004). Ketiga pilar itu adalah:

1. Idealisme. Dalam pasal 6 UU Pers no 40 tahun 1999 dinyatakan, pers nasional melaksanakan peranan sebagai: a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan; c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan infoemasi yang tepat, akurat, dan benar; d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Maknanya, bahwa pers harus memiliki dan mengemban idealisme. Idealisme adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara. Menegakkan nilai0nilai demokrasi dan hak asasi manusia, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, adalah contoh idealisme yang harus diperjuangkan pers. Dasarnya, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) UU no 40 tahun 1999, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

2. Komersialisme. Pers harus mempunyai kekuatan dan keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita itu, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi kepada kepentingan komersial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2) UU no 40 tahun 1999, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Secara manajerial perusahaan, pers harus memetik untung dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apapun sajian pers tak bisa dilepaskan dari muatan nilai bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya yang ideal.

3. Profesionalisme. Profesianalisme adalah isme atau paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan. Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi lima ciri berikut: a. memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khusus di bidangnya; b. mendapat gaji, honorarium atau imbalan materi yang layak sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang diperolehnya; c. seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik profesi; d. secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang sesuai dengan keahliannya; e. memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa luar biasa terhadap bidang pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya; f. tidak semua orang mampu melaksanakan pekerjaan profesi tersebut karena untuk menyelaminya mensyaratkan penguasaan ketrampilan atau keahlian tertentu. Dengan merujuk kepada enam syarat di atas, maka jelas pers termasuk bidang pekerjaan yang mensyaratkan kemampuan profesionalisme.

B. Sejarah Pers Indonesia

Pers di Indonesia mulai berkembang jauh hari sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Pers telah dipergunakan oleh para pendiri bangsa kita sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.

Sejak pertengahan abad ke 18, orang-orang Belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Penguasa kolonial mengekang pertumbuhan pers, meskipun penerbitnya terdiri dari orang-orang Belanda sendiri. Tetapi surat kabar yang tumbuh dari akhir abad ke 19 hingga awal abad berikutnya, juga merupakan sarana pendidikan dan latihan bagi orang-orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan di dalamnya (Tribuana Said, 1988). Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles (Agustus 1744 – Juni 1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817), Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar berbahasa Melayu yang pertama adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1956. kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta 1864), dan Biang Lala (Jakarta, 1867). Perkembangan pers di masa penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata talah dapat menggugah cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa.

Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan masyarakat yang mulai terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial, badan-badan kebudayaan, bahkan gerakan-gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh pergerakan, atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi Utomo pada bulan mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk menumbuhkan kesadaran nasioal dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia. Pada gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah surat-surat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat, Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, serta organisasi Persatoean Djoernslis Indonesia (1933) adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari perjuangan nasional secara keseluruhan.

Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa demokrasi terpimpin hingga menjelang Orde Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia kepartaian, sangat berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pola pertentangan antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan dalm dunia pers, sehingga timbul di satu pihak pers pendukung pemerintah (tepatnya prokabinet) dan di lain pihak pers oposisi. Konfigurasi sikap dan kedudukan pers berubah berbarengan dengan terjadinya perubahan pada konfigurasi politik kepartaian dan pemerintahan. Bahkan sebagian pers memilih pola pers bebas seperti di negara liberal, dengan kadar kebebasan dan persepsi tanggung jawab yang banyak ditentukan oleh wartawan masing-masing. Kondisi pers nasional tergambarkan di atas berlaku dalam masa perjuangan mempertahan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1949 dan dalam masa pemerintahan parlementer antara tahun 1950 – 1959. ekses-ekses dari kondisi tersebut di atas adalah pemberontakan-pemberontakan bersenjata, ketidak stabilan sistem pemerintahan, penodaan kebebasan pers, danlain-lain.

Meskipun sistem parlementer telah terkubur sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, pola pertentangan partai-partai masih bertahan. Bahwa pada masa demokrasi terpimpin , wartawan Indonesia umumnya, PWI (didirikan pada 9 Februari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila, tidak terlepas dari latar belakang dan landasan lhirnya gerakan kemabali UUD 1945. Yaitu, pertentangan dan perlawanan terhadap golongan yang ingin menciptakan undang-undang dasar berdasarkan asas dan dasar negara yang lain. Tetapi, karena kepentingan Manipolisasi dan Nasakomisasi yang semakin menonjol, terutama akibat agitasi dan propaganda golongan PKI yang ingin memperbesar pengaruhnya dalam rangka merebut kekuasaan, maka ideologi Pancasila semakin terdesak oleh konsep-konsep revolusi.

Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur Manipolisasi dan Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal ’pembenahan’ kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun 1966. pengembangan pers nasional lebih lanju diwujudkan dengan mengundangkan UU no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter.

Terlepas dari kritik terhadap konsep penerbitan untuk mengatasi represi politik, pada tahun 1980-an banyak surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan ekonomi, budaya, soial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak kalangan pers yang kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca baru. Fenomena yang paling mencolok ialah menjamurnya jumlah media yang berebut pangsa pasar di kalangan pembaca wanita. Kelompok Femina, misalnya, juga mengelola Ayahbunda, Gadis, dan Sarinah Group. Kelompok Gramedia juga terlihat menghindari ’daerah rawan’ dengan mengelola Nova, Hai, Intisari, Tiara, Bola, Bobo, dan sebagainya.

Kemudian pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.

UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya penghargaan insan pers terhadap profesinya. Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya penghargaan insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang nakal, kita tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat dilakukan melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.

C. Fungsi Pers dan Konsep Public Sphere

Idealisme yang melekat pada pers sebagai lembaga kemasyarakatan ialah melakukan social control dengan menyatakan pendapatnya secara bebas, tetapi tentu dengan perasaan tanggungjawab bila pers itu menganut social responsibility. Idealisme yang melekat pers dijabarkan dalam pelaksanaan fungsinya, selain menyiarkan informasi juga mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Fungsi-fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Fungsi menyiarkan informasi (to inform). Menyiarkan informasi merupakan fungsi pers yang utama. Khalayak pembaca berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi, gagasan atau pikiran orang lain, apa yang dikatakan orang, dan sebagainya.
  2. Fungsi mendidik (to educate). Sebagai sarana pendidikan massa, surat kabar dan majalah memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak pembaca bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana, maupun berita.
  3. Fungsi menghibur (to entertain). Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat oleh surat kabar dan majalah untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel yang berbobot. Isi surat kabar dan majalah yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, tidak jarang juga berita yang mengandung minat insani (human interest), dan kadang-kadang tajuk rencana.
  4. Fungsi mempengaruhi (to influence). Fungsi mempengaruhi menyebabkan pers memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah surat kabar yang independent, yang bebas menyatakan pendapat, bebas melakukan social control. Fungsi mempengaruhi dari surat kabar, secara implisit terdapat pada tajuk rencana, opini, dan berita.

Mengelola pers dengan fungsi seperti itu memerlukan keberanian dan kebijaksanaan. Ini disebabkan oleh sifat pekerjaan mengelola pers yang ideal-komersial. Kalau mengutamakan segi ideal, pers tidak akan hidup lama. Sebaliknya jika mengutamakan segi komersial, lembaga seperti itu tidak layak lagi diberi predikat pers. Jika pers benar-benar melaksanakan tugas social control-nya, akan banyak tantangan yang harus dijawab dengan sikap yang bertanggung jawab, berani, dan bijaksana. Dalam suatu situasi, pers bisa dihadapkan kepada dua alternatif: mati terhormat karena memegang prinsip atau hidup tidak terhormat karena tidak mempunyai kepribadian.

Mengenai fungsi pers di Indonesia sudah jelas landasan dan pedomannya di samping fungsi pers secara universal sebagaimana dipaparkan di atas. Hal tersebut dapat dikaji dalam bab 2 pasal 2 - 6 Undang-undang nomer 40 tahun 1999 yang tersurat sebagai berikut:

Pasal 2

Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pasal 3

(1) Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

(2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Pasal 4

(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,

(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran.

(3) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Pasal 5

(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.

(3) Pers wajib melayani Hak Koreksi.

Pasal 6

Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

a. memenuhi hak masyrakat untuk mengetahui;

b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta meghormati kebhinekaan;

c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;

d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;

e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Diskursus seputar pers, khususnya dalam kajian seputar masyarakat madani dan demokratisasi, pada akhirnya akan sulit mengesampingkan keberadaan konsep public sphere, yang pertama kali diketengahkan oleh salah seorang tokoh pembela proyek pencerahan: Habermas. Sebagai suatu ideal type, “kawasan publik” atau “ruang publik” merujuk pada suatu celah di antara negara dan masyarakat madani, di mana setiap individu warga negara melibatkan diri dalam diskursus tentang berbagai isu permasalahan bersama, dalam kerangka pencapaian konsensus di antara mereka sendiri ataupun untuk mengontrol negara dan pasar. Dalam proses tersebut pers menempati posisi sentral, khususnya dalam era peradaban di mana praktis semua manusia menjadi bagian dari kesepakatan untuk bersatu dalam kesatuan-kesatuan politik besar, seperti negara. Pers, dalam konteks itu, berfungsi memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen di mana isu-isu permasalahan umum bisa diperdebatkan.

Pers selama era orde baru memang jauh dari fungsinya sebagai pilar penegakan suatu public sphere. Konsepsi korporatisme otoriter yang diterapkan orde baru, dengan kecenderungan kuat ke arah pewadahtunggalan dan homogenisasi, telah menempatkan berbagai kawasan publik dalam posisi subordinat di hadapan penguasa negara, Pers dan berbagai lembaga pendidikan serta lembaga publik lainnya, diupayakan oleh penguasa agar sepenuhnya bisa berfungsi sebagai aparatus ideologi negara, berpasangan dengan sejumlah aparatus represif negara, seperti militer dan kelompok-kelompok political thugs (preman-preman politik) yang dibina penguasa.

Setelah orde baru lengser, pers memang tampil berbeda. Sudah jelas jauh lebih berani bersikap kritis terhadap penguasa. Pers menjadi lebih agresif dan kreatif dalam memberi nilai tambah suatu berita, dan juga mengeksplorasi isu-isu permasalahan untuk diolah menjadi komoditas informasi.

Tetapi justru karena itu pula semakin sering kita dengar keluhan dari publik temntang adanya media yang membuat pemberitaan sepihak, tidak objektif, mengingkari kaidah cover both sides, dan semacamnya, Toh ada pandangan yang menilai bahwa maslah sebenarnya bukan hal-hal semacam itu.

Dalam sebuah public sphere, yang lebih dipentingakn adalah “objektivitas” intermedia, bukan hanya “obyektivitas” intra media. Sulit untuk mengharapkan agar setiap media membuat pemberitaan yang “objektif”, misalnya seputar konfliketnis di Tanah Air. Sebab, apakah yang “objektif” tentang konflik etnis semacam itu? Bukankah realitas konflik semacam itu sebenarnya merupakan sebuah kontruksi sosial, produk suatu pertarungan wacana yang melibatkan madia serta berbagai unsur publik?

Artinya, realitas “objektif” tentang suatu peristiwa, konflik antaretnis, misalnya, adalah “penjumlahan” atau agregasi dari berbagai realitas simbolik yang ditamplkan dan dipertarungkan sejumlah media, masing-masing dengan versi dan pandangannya sendiri. Bila anda ingin mengetahui realitas yang “objektif mengenai konflik etnis di Kalimantan” ~bila realita “objektif” tentang konflik itu memang ada~ maka tontonlah semua televisi, bacalah media-media cetak, dan lain-lainnya. Justru melalui pertarungan wacana antarmedia yang beragam itulah diharapkan bisa berlangsung diskursus publik, untuk mencapai suatu konsensus seputar realitas konflik yang terjadi. Itu pula yang terjadi di warung kopi ataupun digambarkan dalam konsepsi public sphere: pertemuan dan pertarungan antara berbagai versi definisi realitas permasalahan.

Namun public sphere lebih dari sekedar warung kopi~tempat orang-orang terbiasa bercanda, berbincang, berdebat kusir, ataupun menebar gosip~, sebab, sekurangnya ada sejumlah kualitas yang hares dimiliki oleh sebuah public sphere agar tidak terjadi distorsi sistematik terhadap proses-proses pencapaian konsensus yang dilakukan. Pertama, selain kawasan tersebut hares cukup terlindungi dari intervensi negara ataupun pasar, dan hares adapula distribusi kuasa yang sama antarindividu yang terlibat di dalamnya, maka akses ke kawasan itu pun hares terbuka lebar bagi setiap warga, dan tidak ada pengistemewaan yang diberikan kepada pihak-pihak tertentu. Kedua, adanya kesepakatanuntuk mematuhi aturan-aturan penyelenggaraan sebuah diskursus rasional dimana setiap klaim kebenaran dapat diuji kebenaran, ketepatan, dan kelayakannya melalui kaidah kaidah-kaidah yang rasional, terbebas dari distorsi permainan politik dan ekonomi, primodialisme, etnosentrisme, dan berbagai fanatisme sempit. Oleh karena itu, pengertian kemandirian pers lebih berkaitan dengan kemandirian dari pengaruh serta dominasi kelompok-kelompok yang ada dalam publik, kepentingan negara, serta tekanan pasar. Di luar itu, pers diharapkan berpihak pada norma-norma penyelengaraan public sphere yang menjamin berlangsungnya diskursus rasional, guna mencapai konsensus-konsensus publik yang benar-benar legitim.

Namun media adalah realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain dalam industri media, contohnya, jelas tidak secara berimbang dimiliki oleh publik. Pemain industri media kita tampaknya hanya akan terdiri dari kaum yang itu-itu saja. Mediapun memiliki fungsi ideologis, dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Ini akan mencakup masalah siapa, kepentingan apa, dan perspektif mana yang akan memperoleh akses ke media mereka. Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, bagaimanpun juga, media pertama-tama perlu terlebih dahulu di lihat sebagai institusi ekonomi, dan karenanya manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditi informasi yang berusaha menyiasati tuntutan serta peluang pasar.

Hal lain yang penting diamati dalam pemberitaan pers saat ini, terutama sekali adalah masalah sejauh mana mereka telah berfungsi menciptakan dirinya sebagai bagian dari public sphere. Ini bisa dikaji melalui pengamatan tentang sejauh mana kemampuan untuk memiliki media semakin terpusat di kaum-kaum itu-itu saja, sejauh apa media di tangan mereka itu telah bersedia memberikan akses berimbang ke setiap unsur publik terkait, tanpa pemberian previlege untuk kelompok tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Sudibyo, 2001, Politik Media dan Pertarungan Wacana, LkiS, Yogyakarta.

Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta

Harris Sumadiria, 2005, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Simbiosa Rekatama Media, Bandung.

Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta.

Maswadi Rauf, 1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Gramedia, Jakarta.

Undang-undang nomer 40 tahun 1999.

PERANAN PEMIMPIN PENDAPAT DALAM SISTEM KOMUNIKASI

A. Model Proses Komunikasi Massa

Dalam proses komunikasi dikenal empat model arus arus alir pesan, yakni: model jarum injeksi; model alir satu tahap; model alur dua tahap; dan model alir banyak tahap (Sarjono, dalam Nurudin 2004). Masing-masing model mempunyai ciri khas dan pola yang berbeda satu sama lain sehingga berbeda pula dalam arus peredaran komunikasinya.

  1. Model jarum injeksi. Model ini mengatakan arus komunikasi berjalan satu arah, dari media massa ke khalayak. Dasar pemikiran ini beranggapan bahwa khalayak bersikap pasif terhadap berbagai informasi yang disiarkan media massa, dan media massa mempunyai kekuatan yang besar dalam mempengaruhi khalayak. Elihu Katz (dalam Nurudin, 2004) menyebutkan ciri-ciri dari model ini: 1. media massa media massa mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk memperdaya khalayaknya; 2. mass audience dianggap seperti atom-atom yang terpisah satu sama lain serta tidak saling berhubungan dengan media massa. Kalaupun individu-individu dalam mass audience mempunyai pendapat yang sama tentang suatu persoalan, hal ini bukan karena mereka berhubungan atau berkomunikasi satu dengan yang lain, melainkan karena mereka memperoleh pesan yang sama dari satu media.
  2. Model alir satu tahap. Model ini hampir menyerupai model jarum injeksi. Kesamaannya, saluran media massa langsung berhubungan dengan khalayaknya. Perbedaannya antara dua model ini adalah sebagai berikut: a. Model alir satu tahap mengakui media massa bukanlah all powerfull dan tidak semua media mempunyai kekuatan yang sama. Sedangkan model jarum injeksi mengakui media massa adalah all powerfull dalam mempengaruhi khalayaknya; b. Model jarum alir satu tahap memaklumi adanya proses seleksi pesan yang berbeda-beda antar individu, model jarum injeksi beranggapan sistem seleksi pada khalayak adalah sama; c. Model alir satu tahap mengakui adanya perbedaan efek yang terjadi pada khalayak, model jarum injeksi berasumsi bahwa pesan yang sama akan menimbulkan efek yang sama pula.
  3. Model alir dua tahap. Model ini mengasunsikan bahwa pesan-pesan media massa tidak seluruhnya langsung mengenai khalayak. Tahap pertama adalah pesan media kepada pemimpin pendapat (opinion leader), sedangkan tahap kedua adalah pesan pemimpin pendapat kepada pengikut-pengikutnya (followers). Asumsi model ini adalah para follower dianggap tidak banyak bersentuhan dengan media massa, sedangkan pemimpin pendapat lebih banyak bersentuhan dengan media massa. Juga pemimpin pendapat dianggap lebih (karena mempunyai kelebihan) dibanding follower-nya.
  4. Model alir banyak tahap. Pada prinsipnya, model ini merupakan gabungan dari semua model yang sudah disebutkan di atas. Model ini menyatakan bahwa pesan-pesan media massa menyebar ke khalayak melalui interaksi yang kompleks. Media mencapai khalayak dapat scara langsung atau tidak langsung melalui relaying (penerusan) secara beranting, baik melalui pemimpin pendapat-pemimpin pendapat maupun melalui situasi saling berhubungan antara sesama anggota khalayak.

B. Jaringan komunikasi

Perubahan perspektif teoritikal dalam komunikasi interpersonal memerlukan seperangkat metode penelitian baru. Unit analisis berubah dari individu ke hubungan di antara individu-individu itu. Suatu seperangkat hubungan yang mungkin ada disebut sebagai personal network. Istilah ini menunjukkan lingkaran pergaulan langsung seseorang pada suatu topik tertentu, seperti nutrisi bayi atau pemasaran hasil-hasil pertanian. Dengan kata lain, network seseorang dapat bervariasi tergantung pada topik yang didiskusikan.

Disamping itu, orang-orang tertentu mungkin saja menjadi pemimpin pendapat-pemimpin pendapat pada topik tertentu, tetapi tidak pada topik yang lain. Mereka mungkin dapat mempengaruhi orang-orang lain pada apresiasi musik, misalnya, akan tetapi tidak pada isu bagaimana menanam cengkeh.

Analisis personal network dalam suatu sistem sosial disebut sebagai analisis jaringan sosial (social network analysis). Sistem sosial ini mungkin saja sebuah desa, sebuah perusahaan, sebuah organisasi kompleks, atau yang lain lagi. Hubungan-hubungan yang terdapat di antara orang-orang dan diantara klik-klik pada suatu topik tertentu dapat diungkapkan dengan teknik sosiometri. Metode-metode penyelidikan ini didasarkan pada penemuan ”siapa berinteraksi dengan siapa”.

Responden-responden dalam suatu sistem sosial dapat diwawancarai untuk mengukur kekuatan hubungan sosial mereka, misal dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan: dengan siapa mereka mendiskusikan suatu topik, sesering apakah mereka mendiskusikan topik tersebut dengan orang orang atau orang-orang yang telah mereka sebutkan tadi. Tidak seperti riset survei yang mengambil suatu sampel yang dapat mewakili populasi yang diselidiki, riset jaringan sosial melibatkan populasi itu sendiri. Hal ini menunjukkan siapa yang berkomunikasi dengan siapa, apakah komunikasi itu timbal balik, ke dalam klik mana mereka bergabung (jika ada), dan bagaimana klik-klik yang berbeda berhubungan satu sama lain. Dalam suatu sistem sosial, beberapa anggota mungkin saja tidak berhubungan dengan orang-orang lain. Individu ini disebut isolat.

Sosiogram, dalam batas-batas tertentu, menyajikan suatu gambaran interaksi dalam suatu jaringan sosial. Untuk suatu kelompok yang cukup kecil dan sedikit interkasi, sosiogram dapat sangat berguna untuk menelusuri aliran informasi ataupun difusi inivasi(Hernando Gonzales, dalam Amri Jahi 1988).

Karena analisis jaringan sosial menggunakan populasi, dan bukan sampel, maka setiap studi kasus yang dilakukan bersifat unik dan tidak mudah digeneralisasikan. Selain itu, penemuan-penemuan itu sendiri biasanya bersifat terbatas pada suatu butir waktu tertentu. Oleh karena itu, pengukuran jaringan sosial dari waktu ke waktu berharga, seperti bidang-bidang riset komunikasi yang lain.

George Simmel (1922) meletakkan dasar bagi riset jaringan sosial dengan bukunya, The Web of Group-Affiliations. Ia menerangkan bagaimana perilaku seseorang dipengaruhi oleh afiliasinya dalam lingkaran-lingkaran sosial (jaringan sosial). Bukti nyata tentang efek jaringan sosial pada perubahan perilaku seseorang, antara lain diperoleh dari beberapa studi tentang pengadopsian cara-cara keluarga berencana di desa-desa Korea Selatan, penyembuhan penderita penyakit jantung di Amerika Serikat, dan penggunaan kelompok untuk membentuk perilaku individu yang dikehendaki masyarakat Cina (Hernando Gonzales, dalam Amri Jahi 1988).

Penelitian difusi menemukan bahwa orang-orang sering berkomunikasi dengan orang-orang lain lain yang memiliki karakteristik serupa. Karakteristik yang serupa ini dapat saja bersifat demografik, seperti umur, kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Tetapi, ketika masyarakat menjadi semakin kompleks, atribut psikografik seperti kesamaan dalam tata nilai dan gaya hidup menjadi lebih penting daripada indikator-indikator status sosial ekonomi saja. Istilah sosiologi yang dipakai untuk menunjukkan keserupaan di antara orang-orang itu ialah homofili. Studi-studi difusi juga menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak memiliki kesamaan cenderung kurang berkomunikasi satu sama lain. Perbedaan-perbedaan ini dapat juga dikemukakan secara demografik ataupun psikografik. Ketidaksamaan di antara orang-orang itu juga disebut sebagai heterofili.

C. Pemimpin pendapat

Istilah pemimpin pendapat menjadi perbincangan dalam literatur komunikasi sekitar tahun 1950-1960an. Sebelumnya dalam literatur komunikasi sering digunakan kata-kata influentials, influencers atau tastemakers untuk menyebut pemimpin pendapat. Kata pemimpin pendapat kemudian lekat pada kondisi masyarakat di pedesaan, sebab tingkat media exposure-nya masih rendah dan tingkat pendidikan masyarakat yang masih memprihatinkan. Akses ke media lebih dimungkinkan dari mereka yang memiliki tingkat pemahaman tinggi dan kebutuhan akan media tidak rendah. Melalui informasi dari merekalah kadang perkembangan kontemporer diketahui masyarakat. Mereka secara tidak langsung menjadi perantara (bahkan penerjemah pesan) berbagai informasi yang diterima olehnya kemudian diteruskan kepada masyarakat. Pihak yang sering terkena media exposure di masyarakat desa kadang diperankan olehpemimpin pendapat. Mereka ini sangat dipercaya disamping juga menjadi panutan, tempat bertanya dan meminta nasihat bagi anggota masyarakat.

Pemimpin pendapat biasanya berbeda dari follower mereka dalam beberapa hal dan mereka cenderung berinteraksi dengan follower yang ciri-cirinya mirip dengan mereka sendiri. Penelitian-penelitian empiris baik di negara maju maupun negara yang belum maju menunjukkan kontak anggota masyarakat dengan pemimpin pendapat lebih sering terjadi dengan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Berstatus sosial yang lebih tinggi.
  2. Partisipasi sosialnya tinggi.
  3. Lebih tinggi pendidikan dan tingkat kemelekhurufannya.
  4. Lebih kosmopolitan (Rogers dan Shoemakers, 1983).

Ada dua pengelompokan pemimpin pendapat berdasarkan aktif dan tidaknya dalam perilaku. Pertama, pemimpin pendapat aktif (opinion giving), yaitu pemimpin pendapat yang sengaja mencari penerima atau follower untuk mengumumkan atau mensosialisasikan suatu informasi. Kedua pemimpin pendapat pasif (opinion seeking), yaitu pemimpin pendapat yang dicari oleh followernya. Dalam hal ini follower aktif mencari sumber informasi kepada pemimpin pendapat sehubungan dengan permasalahan yang sedang dihadapi.

Merton (1946) menyatakan bahwa ditinjau dari penguasaan materinya, pemimpin pendapat dapat digolongkan menjadi menjadi dua. Pertama monomorfik, yaitu pemimpin pendapat yang hanya menguasai satu permasalahan saja. Kedua, polimorfik yaitu pemimpin pendapat yang menguasai lebih dari satu permasalah.

Nurudin (2004) mengemukakan beberapa ciri pemimpin pendapat beserta proses komunikasinya yang dijalankannya sebaga berikut:

  1. Komunikasi interpersonal mempunyai struktur jaringan yang lebih (umpamanya kerabat, keluarga besar, suku, dan sebagainya) yang sangat kuat, karena ikatan yang telah lama ada, kebiasaan-kebiasaan setempat yang telah lama tertanam, dan setiap struktur ini mempunyai pemimpin-pemimpin pendapat.
  2. Komunikasi dalam masyarakat Indonesia ditandai oleh ciri-ciri sistem komunikasi feodal. Ada garis hierarki yang ketat sebagai bawaan dari sistem sosial tradisional, pemuka pendapat sudah tentu dan mempunyai pengaruh yang jelas sementara arus komunikasi cenderung berjalan satu arah.
  3. Pemimpin pendapat-pemimpin pendapat dianggap telah dikenali dan dapat diketahui dengan mudah dari fungsi mereka masing-masing dalam pranata-pranata informal yang telah berakar dalam masyarakat seperti alim ulama, pemuka adat, guru swasta, atau pendidikan informal, dukun, dan sebagainya.
  4. Sejalan dengan itu jaringan komunikasi yang ada dalam masyarakat juga dengan sendirinya dianggap telah dikenali pula, yaitu jaringan yang berkaitan dengan masing-masing jenis pranata atau pemimpin pendapat tersebut, seperti jaringan atau jalur komunikasi keagamaan, adat, pendidikan formal, kesehatan tradisional, dan lain-lain sebagainya.
  5. Pemimpin pendapat-pemimpin pendapat tidak hanya mereka yang memegang fungsi dalam pranata informal masyarakat tetapi juga pemimpin formal, termasuk yang menempati kedudukan karena ditunjuk dari luar (pamong praja, dokter, penyuluh pertanian, dan sebagainya).
  6. Pemimpin pendapat di Indonesia dianggap bersifat polimorfik, yaitu serba tahu atau tempat menanyakan segala hal. Adanya asumsi ini terlihat dari kecenderungan untuk menyalurkan segala macam informasi (politik, pertanian, keluarga berencana, wabah, dan sebagainya) kepada para pemimpin pendapat yang sama.
  7. Pemimpin pendapat pasti akan meneruskan informasi yang diterimanya kepada pengikutnya, meskipun dengan perubahan-perubahan. Terkandung pula dalam hal ini adalah bahwa pemimpin pendapat cukup dengan dengan jaringan pengikutnya.

A. Pemimpin pendapat dalam Sistem Komunikasi

Tidak bisa dipungkiri, bahwa pemimpin pendapat menjadi salah satu unsur yang sangat mempengaruhi arus komunikasi, khususnya di pedesaan. Berbagai perubahan dan kemajuan masyarakat sangat ditentukan oleh peran pemimpin pendapat ini. Misal, pemimpin pendapat dapat berperan memotivasi masyarakat agar ikut serta aktif dalam pengalaman pembangunan. Untuk itulah selayaknya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada pemimpin pendapat ini. Ketidak mampuan dalam mempengaruhi pemimpin pendapat pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap program yang sedang dijalankan. Di Peru pernah dilakukan kampanye inovasi kesehatan kepada penduduk desa yang dilakukan oleh sebuah lembaga pelayanan kesehatan. Lembaga ini telah berhasil mengkampanyekan program tersebut di Amerika Latin dengan cara memotivasi penduduk untuk membuat jamban, membakar sampah, melaporkan kasus-kasus penyakit yang mencurigakan ke Puskemas dan memasak air. Dalam kasus ini diketemukan bahwa peran pemimpin pendapat sangat signifikan terhadap suksesnya program (Rogers dan Shoemakers, 1983).

Peran pemimpin pendapat dalam kehidupan sosial di Indonesia juga tidak bisa dibilang rendah. Karena pemimpin pendapat sangat dipercaya masyarakatnya, ia ikut menentukan berbagai perilaku masyarakat. Di Indonesia, pemimpin pendapat ikut menentukan apakah program Keluarga Berencana (KB) yang dikampanyekan pemerintah tahun 1970-an sukses atau tidak. Nyata bahwa kesuksesan program KB tidak lepas dari peran pemimpin pendapat (Nurudin, 2004). Di sebuah kantor Kepala Desa di Patalan, Jetis, Bantul Yogyakarta para kiai dan tokoh masyarakat lain dipakai sebagai program kampanye untuk mendukung gerakan program KB pemerintah. Bahwa KB adalah halal dan sah. Kampanye lewat tulisan ini penting agar masyarakat yang semula ragu terhadap program KB tidak sangsi memakai alat kontrasepsi.

Clifford Geertz dalam The Javanese Kiai: The Changing Roles of A Cultural Broker Comparative Studies in Society and History, mengatakan bahwa kiai hanya berperan sebagai makelar budaya (cultural broker). Ini artinya, pengaruh kiai hanya terletak pada pelaksanaan fungsi makelar. Bahkan secara politis kiai yang tidak mempunyai pengalaman dan keahlian tak mampu memimpin dengan hubungan masyarakat-bangsa yang modern. Tetapi, tesis ini ini sudah banyak digugat oleh banyak banyak peneliti, salah satunya adalah Hiroko Horikoshi (1976) yang menyatakan bahwa kiai telah berperan sebagai pengambil keputusan menggerakkan orang desa untuk mendukung keputusan masyarakat. Kiai berperan dalam perubahan social dengan keunggulan kreativitasnya yakni adaptif-kreatif dengan kemampuannya memeliharta yang baik tradisi lama dan mengambil yang lebih baik dari perubahan yang baru (Munandar Sulaiman, dalam Nurudin 2004).sehingga, dalam hal ini secara langsung atau tidak kiai telah berperan dalam memelihara keteraturan social dan kontinuitas social.

Kekuatan kiai yang sedemikian besar tersebut jelas akan ikut mempengaruhi pola komunikasi yang dijalankan pada masyarakat pedesaan. Karisma kiai sebagai pemimpin pendapat akan memberi sumbangan besar bagi aliran komunikasi dari kiai ke masyarakat atau sebaliknya dan antaranggota masyarakat. Ini artinya, jika kiai sudah bilang tidak untuk diadakannya suatu perubahan sosial di masyarakat, maka masyarakat atau pengikutnya akan mengatakan yang serupa. Tak bisa dipungkiri bahwa kiai penentu proses komunikasi di masyarakat. Moenandar Soelaiman menyatakan bahwa kekuatan kiai sebagai pemimpin pendapat dapat dilihat dari dua hal:

  1. Memiliki kemampuan perasaan kemasyarakatan yang dalam dan tinggi.Kiai mempunyai kekuatan yang tingi dalam mempengaruhi anggota masyarakat, karena bisa memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakatnya. Ia sanggup menjawab berbagai macam persoalan yang ingin diketahui oleh masyarakat. Ia juga mampu mengasuh masyarakat dengan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah.
  2. Selalu melandaskan sesuatu pada kesepakatan bersama. Kiai dianggap orang yang mempunyai pengaruh karena keilmuannya. Ia ahli dalam bidang agama sehingga dibutuhkan oleh masyarakat. Bahkan ia menjadi patron masyarakat atau ia sanggup melayani kliennya (masyarakat). Ia juga bisa berperan sebagai pressure group dan ruling class di pedesaan. Ia mampu menolak kebijakan pemerintah yang bertolak belakang dengan adat istiadat, aspirasi, atau norma di wilayahnya. Ia dengan kemampuan kharismatisnya melakukan perlawanan (pressure group) terhadap suatu kebijakan.

Daftar Acuan

Amri Jahi (penyunting), Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1988.

Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2004.

Manfred Oepen, (ed.), Development Support Communication in Indonesia, dalam Umar Basalim, penerjemah, Media Rakyat, Komunikasi Pengembangan Masyarakat, P3M, Jakarta, 1988.

Rogers dan Shoemaker, Communication of Invation, dalam Abdillah Hanafi, pernerjemah, Memasyarakatkan Ide-ide Baru, Usaha Nasional, Surabaya, 1987.