Selasa, 08 Januari 2013

TEORI AGENDA SETTING





            Studi efek media dengan pendekatan agenda setting (penentuan/pengaturan agenda) sudah dimulai pada tahun 1960-an, namun popularitas baru muncul setelah publikasi hasil karya McCombs dan Shaw di Chapel Hill pada tahun 1972. Mereka menggabungkan dua metoda sekaligus, yaitu analisa isi (untuk mengetahui agenda media di Chapel Hill) dan survey terhadap 100 responden untuk mengetahui prioritas agenda publiknya (Haryanto, 2003). Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang dilansir oleh media di Chapel Hill bersesuaian dengan urutan prioritas pada responden.
            Walaupun penelitian tersebut hanya dapat membuktikan pengaruh kognitif media atas audiens, namun studi agenda setting  tersebut sudah dapat dipakai sebagai upaya untuk mengkaji, mengevaluasi, dan menjelaskan hubungan antara agenda media dan agenda publik. McCombs dan Shaw (dalam Griffin, 2003) meyakini bahwa hipotesa agenda setting tentang fungsi media terbukti- terdapat korelasi yang hampir sempurna antara prioritas agenda media dan prioritas agenda publik[1].


Agenda media


mempengaruhi

Agenda publik


Bagan Hubungan variabel dalam Teori Agenda Setting

           
            Setelah publikasi karya tersebut, banyak eksplorasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi analisa isi dan survey. Hasil-hasil penelitian lanjutan adalah beragam. Ada yang memperkuat, akan tetapi tidak sedikit yang memperlemah temuan  McCombs dan Shaw. Mengapa demikian? Rogers (1997) dalam A Paradigmatic Hystory of Agenda Setting Research,   berpendapat bahwa kurang diperhatikannya on going process dalam framing[2] dan priming[3] agenda media; maupun on going process dalam agenda public, seringkali menyebabkan kesimpulan yang diperoleh dalam studi agenda setting tidak sesuai dengan realita yang ada. Dengan begitu, bisa jadi hasil-hasil penelitian yang beragam itu ada yang bersifat semu. Artinya hubungan yang terjadi disebabkan karena pilihan sampelnya kebetulan mendukung/tidak mendukung hipotesis yang dikembangkan, atau mungkin pilihan isu-nya kebetulan menyangkut/tidak menyangkut kepentingan kelompok responden.

Variabel dalam studi Agenda Setting
            Sampai dengan penerbitan hasil studi yang dilakukan oleh McCombs dan Shaw tahun 1972, hampir semua studi agenda setting yang dilakukan memfokuskan pada dua variabel, yaitu agenda media (sebagai variabel independen) dan agenda publik (sebagai variabel dependen). Analisis hubungan antar variabel yang dilakukan biasanya menekankan pada pola hubungan satu arah atau bersifat linear, yaitu bahwa agenda media mempengaruhi terbentuknya agenda publik. Ini merupakan bukti bahwa kebanyakan peneliti pada saat itu masih percaya bahwa efek media bersifat langsung, sehingga studi mereka lebih banyak berorientasi pada upaya pengukuran besarnya efek media.
            Banyak kritik dilontarkan, yang mempertanyakan dimanakah perbedaan substansial antara efek media di masa lalu dengan aplikasi pendekatan agenda setting dalam menjelaskan sifat dan derajad efek media terhadap audiens.
            Dalam model tersebut, realita yang mengarah pada hubungan timbal balik antara agenda media dan agenda publik kurang mendapatkan perhatian. Seringkali terlupakan bahwa framing dan priming agenda media, dan tingkat kemenonjolan (salience) isu/kejadian pada agenda publik, merupakan proses tidak berujung dan tidak berpangkal. Kurang perhatian terhadap ’proses’ baik dalam bentuk agenda media maupun agenda publik, menyebabkan studi agenda setting kurang mampu menjelaskan mengapa isu-isu tertentu, yang disiarkan oleh media tertentu mempunyai pengaruh tertentu, bagi audiens tertentu.
            Respon terhadap kenyataan tersebut adalah terjadinya perubahan orientasi dalam studi agenda setting bahwa agenda setting bukan hanya suatu gejala melainkan sebuah proses yang berlangsung terus menerus (on going process). Berdasarkan perspektif ini, pemenuhan (coverage) variabel dalam studi agenda setting menjadi sangat luas, karena melibatkan faktor-faktor yang merupakan bagian dari proses terbentuknya agenda media dan agenda publik dan sekaligus bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa efek media sangat besar, kecil, atau tidak ada sama sekali.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi ada tidaknya pengaruh agenda setting (pengaruh agenda media terhadap agenda publik) disebut faktor kondisional, yang dapat dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) sebagai berikut:
1.     Dari perspektif agenda media adalah sebagai berikut: framing; priming; frekuensi dan intensitas pemberitaan/penayangan; dan kredibilitas media di kalangan audiens.
2.     Dari perspektif agenda publik adalah sebagai berikut: faktor perbedaan individual; faktor perbedaan media; faktor perbedaan isu; faktor perbedaan salience; faktor perbedaan kultural.
Perbedaan individual, pengaruh agenda setting akan meningkat pada diri individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang disajikan oleh media massa. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa perhatian individu terhadap isi media dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, luas pengalaman, kepentingan, perbedaan ciri demografis, sosiologis.  
Bukti-bukti eksperimental (Iynenger & Kinder, dalam Haryanto:2003) menunjukkan bahwa efek agenda setting akan meningkat pada individu-individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang dikaji, sedangkan intensitas perhatian sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan derajat kepentingannya.
            Perbedaan media, yang dimaksudkan disini adalah perbedaan coverage media yang ada pada komunitas, kelompok masyarakat, wilayah atau negara tertentu. Diyakini bahwa sekalipun ada kecenderungan uniformitas dalam menyiarkan berita (isu), namun beberapa media tertentu memberikan tekanan dan porsi yang berbeda dalam menyiarkan berita. Framing dan priming merupakan salah satu bukti akan hal ini. Tekanan dan porsi yang berbeda berpengaruh terhadap aseptibilitas agenda media di kalangan audiens. Ini  berarti bahwa media yang lebih diterima oleh audiens akan mempunyai efek agenda setting yang lebih besar. 
Penerimaan audiens terhadap media merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan prestige media tersebut di kalangan audiens yang bersangkutan. Berkaitan dengan masalah ini, diasumsikan bahwa bila media mampu mengangkat prestige audiens maka efek agenda setting akan meningkat. Hal lain yang bisa mengangkat prestige media di kalangan audience adalah sirkulasi (nasional, internasional), segemen pasar (kelas menengah, atas, eksekutif).
            Perbedaan isu, dilihat dari isinya, isu bisa berupa pengungkapan masalah yang sedang dihadapi oleh individu, kelompok, atau masyarakat, isu juga bisa berupa usulan solusi untuk memecahkan masalah. Masing-masing jenis isu mempunyai efek yang berbeda dalam proses agenda setting. Oleh karena itu, seharusnya diberikan pertimbangan khusus dalam penelitian agenda setting. Sedangkan dilihat dari jenisnya, isu bisa dibedakan sebagai berikut:
  • Obtrusive issues adalah isu-isu yang berkaitan langsung dengan pengetahuan dan pengalaman individu atau khlayak. Artinya, bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh khalayak tentang isu yang bersangkuatan bukan berasal dari media, akan tetapi sudah dimiliki sebelumnya. Sebaliknya, unobstrusive issues adalah isu-isu yang tidak berkaitan langsung dengan pengetahuan/pengalaman audiens. Bukti empirik menunjukkan bahwa efek agenda setting lebih besar ditemukan pada individu-individu yang mempunyai keterlibatan langsung dengan isu yang disiarkan.
  • Selective issues adalah isu-isu atau sejumlah isu yang dipilih secara khusus, dengan alasan tertentu kemudian diukur pengaruhnya pada khalayak tertentu. Pemilihan isu(sejumlah isu) bisa dilakuakan dengan melakukan analisa terhadap isi media massa, kemudian memilih sejumlah diantaranya yang dianggap lebih menonjol dibandingkan yang lain, atau bisa juga dengan cara mengambil topik-topik yang sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat.
  • Remote issues adalah isu-isu yang sama sekali di luar individu, kelompok, atau masyarakat, baik secara geografis, psikologis, maupun politis. Bukti-bukti yang dikumpulkan untuk mengevaluasi pengaruh agenda setting berkaitan dengan remote issues masih bersifat debatable. Artinya, beberapa temuan menyebutkan bahwa remote issues mempunyai efek agenda setting lebih besar. Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, temuan yang lain menyebutkan bahwa remote issues tidak memunyai efek sama sekali.

Perbedaan salience, yaitu pemilihan isu berdasarkan perbedaan nilai kepentingan, dilihat dari sisi khalayak; apakah isu yang dipilih untuk menjangkau kepentingan sosial (komunitas yang lebih luas), kepentingan interpersonal (keluarga teman bergaul, tempat kerja, dsb.) ataukah kepentingan individu. Masing-masing pilihan, tentu saja, akan menimbulkan efek agenda setting yang berbeda. Oleh karena itu sangatlah bijaksana mempertimbangkan masalah ini dalam studi agenda setting.
Perbedaan kultural, setiap kelompok masyarakat akan menanggapi dan merespon isu yang sama secara berbeda, yang secara otomatis akan mempengaruhi efek agenda setting yang ditimbulkan. Teori norma budaya yang dikembangkan de Fleur (dalam Haryanto, 2003) menyebutkan bahwa pesan-pesan komunikasi yang disampaikan oleh media massa bisa menimbulkan kesan-kesan tertentu, yang oleh individu disesuaikan dengan norma-norma budaya yang berlaku pada masyarakat dimana individu itu tinggal. Sekalipun dipercaya bahwa media mampu membentuk dan merubah norma baru sebagai acuan hidup bagi kelompok masyarakat tertentu, namun bukti-bukti yang ditemukan belum sepenuhnya mendukung hipotesa tersebut. Bukti-bukti empirik yang paling kuat adalah media massa lebih mudah memperkokoh sistem budaya yang sudah berakar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pengukuran efek agenda setting seharusnya mempertimbangkan dengan hati-hati sistem budaya yang dianut oleh individu, kelompok atau masyarakat.
Sampai di sini, konsep kita mengenai agenda setting menjadi semakin kompleks. Studi agenda setting bukan hanya menguji hubungan antara agenda media dan agenda publik an sich, akan tetapi mencakup bagaimana faktor-faktor eksternal mempengaruhi pemberitaan media, dan bagaimana faktor-faktor sosio-kultural mempengaruhi individu dalam memperhatikan, merespon, dan memahami isi pesan media massa.  Oleh karenanya, konsep kita tentang hubungan antar variabel dalam studi agenda setting dapat digambarkan sebagai berikut:

AGENDA MEDIA
1.       Framing
2.       Priming
3.       Durasi.


mempengaruhi
AGENDA PUBLIK
       1.       Karakteristik sosial budaya
       2.       Karakteristik demografis


Jenis isu yang diteliti
1.       Selektif isu
2.       Salience


Suatu Model Tentatif Penelitian Agenda Setting (Haryanto, 2003)




Daftar pustaka:
Karl Erik Rosengren, Lawrence Wenner, Philip Palmgreen, 1974,  Media Gratifications Research: Curent Perspective,
Jalaluddin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya
Nurudin, 2003, Komunikasi Massa, Malang: CESPUR.
Denis McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa, Jakarta, Erlangga
Stanley J. Baran & Dennis K. Davis, 2000, Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future ed. 2nd, USA: Wadsworth.
Stephen W. Littlejhon, 1999, Theories of Human Communication ed. 6th, California:  Wadsworth.
Em Griffin, 2003,  A First Look at Communication Theory, ed. 5th, New York: McGraw-Hill Companies.
Haryanto, 2003, Metode Penelitian Komunikasi: Agenda Setting, Surakarta: FISIP Program studi Komunikasi Massa UNS.
Werner J. Severin & James W. Tankard, 2001, Communication Theories: Origins, Methods, & Uses in the Mass Media, ed. 5th, penerj. Sugeng Hariyanto, Addison Wesley Longman Inc.




[1] Dalam salah satu perkembangannya, studi ini diarahkan juga untuk meneliti korelasi antara agenda media; agenda publik; dan agenda kebijakan (baca Manheim: Model Agenda Setting Dinamis).
[2] Framing adalah sebuah proses yang mana jurnalis, reporter, editor mengemas isu/kejadian menjadi sajian yang lebih menyentuh dan lebih menarik. Apa yang ditemukan oleh Shaw dan McCombs (1977) merupakan contoh yang bagus untuk menjelaskan makna framing. Mereka menemukan perbedaan efek agenda setting pada isu tentang kejahatan. Efek akan menjadi semakin kuat pada saat isu tersebut dipotret sebagai masalah sosial daripada disajikan sebagai laporan berita dalam bentuk straigh news. Kesimpulannya adalah bagaimana isu/kejadian dikemas merupakan faktor penentu terhadap derajad pentingnya isu di kalangan audiens.

[3] Sedangkan priming mengacu pada sebuah metafora, yaitu kemampuan program pemberitaan untuk mempengaruhi kriteria yang dapat digunakan oleh para individu untuk menilai performance pemimpin politik mereka. Misal, pemberitaan yang berkelanjutan(terus menerus) mengenai keterlambatan resufle kabinet dapat dipakai audiens untuk menilai sejauh mana willingness, komitmen, dan kredibilitas politis Presiden SBY dalam mengelola pemerintahan.

Faktor-faktor Pengaruh Isi Media



Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), dalam Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content, menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan[1]. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media (bandingkan dengan McQuail, 1987), sebagai berikut:
  1. Faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media.
  2. Rutinitas media, berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.
  3. Organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga  bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.
  4. Ekstra media. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa  faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media:
    1. Sumber berita. Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media.
    2. Sumber penghasilan media, berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan/pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.
    3. Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media (baca teori normatif komunikasi massa, dan teori makro). Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.
  1. Ideologi, diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas.
Raymond William (dalam eriyanto, 2001) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah.
1.      Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Sebagai misal, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demontrasi buruh. Ia percaya  bahwa buruh yang berdemontrasi mengganggu kelangsungan produksi. Oleh karenanya, demontrasi tidak boleh ada, karena hanya akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, menggangu kemacetan lalulintas, dan membuat persahaan mengalami kerugian besar.  Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.
2.      Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat –ide palsu atau kesadaran palsu- yang biasa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat, akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa.
3.      Proses umum produksi makna dan ide. Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.


Daftar pustaka:

Eriyanto, 2001, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS.
McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa ed. 2, Jakarta: Erlangga
Shoemaker & Reese, 1996, Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content, USA:Longman.



[1] Dalam kajian yang lebih sempit, Ahmad Sihabudin,  Rusniati Tulus Widati, dan Nurcahyadi Pelu (2000) dalam penelitiannya tentang Paradigma Pembentukan dan Distribusi pesan pada Stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), menemukan bahwa peran tipe kepemilikan, tipe pengawasan, sumber operasi, pengaturan modal dan pendapatan, kompleksitas birokrasi media berpengaruh secara signifikan terhadap pembentukan dan distribusi pesan televisi di TPI (Jurnal ISKI no 5/ Oktober 2000).
Berbeda dengan Shoemaker dan Reese yang menyebutkan lima faktor yang mempengaruhi isi media, Ibnu Hamad dalam 'Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa" menyatakan terdapat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi isi media ataupun proses-proses pembuatan berita.

Pola Isi Media



McQuail (1987), menyatakan bahwa isi media sebagai bukti komunikatornya, serta bukti masyarakat dan budayanya dari suatu sistem komunikasi massa.
Sebagai bukti komunikatornya, melalui isi media dapat kita analisis arah pesan dan karakteristik komunikatornya. Misal: Isi  Suara Karya merupakan bukti bahwa surat kabar ini merupakan pendukung pemerintahan saat ini; Isi majalah Trubus membuktikan bahwa komunikator adalah ahli pertanian dan peternakan; Isi majalah Topples membuktikan bahwa komunikator berselera ’rendah’; dsb.
Sebagai bukti masyarakat dan budayanya, melalui isi media dapat dianalisis tentang karakteristik masyarakat dan budayanya. Misal isi media-media Indonesia pada tahun 1950 -1959 membuktikan bahwa masyarakatnya mempraktekkan budaya ’liberal’.
Secara umum, isi media dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar. Yaitu: berita (news); opini (views); dan iklan (advertising). Kelompok-kelompok itu masing-masing dapat dibedakan lagi menurut jenis peristiwanya. Misal: berita politik; berita ekonomi; berita olahraga; berita hiburan; opini politik; opini ekonomi; iklan politik; dan sebagainya.
A. Kelompok berita, meliputi antara lain hard news; soft news; spot news; developing news, dan continuing news (Gaye Tuchman dalam eriyanto 2002). Hard news adalah berita mengenai peristiwa yang terjadi saat itu,dan penting diketahui publik. Kategori berita ini sangat dibatasi oleh waktu dan aktualitas. Soft news adalah berita yang berhubungan dengan kisah manusiawi. Kategori berita ini tidak ditentukan waktu dan aktualitas, melainkan  apakah informasi yang disajikan kepada khalayak tersebut menyentuh emosi dan perasaan khalayak, missal kisah mengenai orang dari Kediri yang ingin sekali naik haji, sampai berani duduk di kabin pesawat Garuda. Spot news adalah  subklasifikasi dari berita yang berkategori hard news. Dalam spot news, peristiwa yang akan diliput tidak bisa direncanakan. Misal berita kecelakaan, kebakaran, gempa bumi, peristiwa-peristiwa yang tidak bisa diprediksi. Developing news adalah subklasifikasi lain dari hard news. Baik spot news dan developing news umumnya berhubungan dengan peristiwa yang tidak terduga. Tetapi dalam developing news dimasukkan elemen lain, peristiwa yang diberitakan adalah bagian dari rangkaian berita yang akan diteruskan keesokan atau dalam berita selanjutnya. Continuing news adalah subklasifikasi lain  dari hard news.
Berita adalah laporan tentang suatu fakta atau peristiwa. Dan karenanya dalam proses pencarian berita dan penulisan berita, sama sekali tidak boleh terdapat opini.  Ini menunjukkan bahwa pekerjaan wartawan dan media adalah menyampaikan fakta, meskipun Ia memang tidak bisa menggambarkan peristiwa apa adanya 100% sesuai dengan kenyataan
            Menurut Fishman (dalam Eriyanto, 2002), ada dua kecenderungan studi bagaimana proses produksi berita dilihat.
Pandangan pertama, sering disebut sebagai pandangan seleksi berita (selectivity of news). Dalam bentuknya yang umum pandangan ini seringkali melahirkan teori seperti gatekeeper. Intinya, proses produksi berita adalah proses seleksi. Seleksi ini dari wartawan di lapangan yang akan memilih mana yang penting dan mana yang tidak, mana peristiwa yang bisa diberitakan dan mana yang tidak. Setelah berita itu masuk ke tangan redaktur, akan diseleksi lagi dan disunting dengan menekankan bagian mana yang perlu dikurangi dan bagian mana yang perlu ditambah. Pandangan ini mengandaikan seolah-olah ada realitas yang benar-benar riil yang ada diluar diri wartawan. Realitas riil itulah yang akan diseleksi oleh wartawan untuk kemudian dibentuk dalam sebuah berita.
Pandangan kedua, sering disebut dengan pembentukan berita (creation of news). Dalam perspektif ini, peristiwa itu bukan diseleksi, melainkan sebaliknya-dibentuk. Wartawanlah yang membentuk peristiwa: mana yang disebut berita dan mana yang tidak. Peristiwa dan realitas bukanlah diseleksi, melainkan dikreasi oleh wartawan. Dalam perspektif ini, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana wartawan membuat berita. Titik perhatian terutama difokuskan dalam rutinitas dan nilai-nilai kerja wartawan yang memproduksi berita tertentu. Ketika bekerja, wartawan bertemu dengan seseorang. Wartawan bukanlah perekam yang pasif yang mencatat apa yang terjadi dan apa yang dikatakan seseorang. Melainkan sebaliknya, ia aktif. Wartawan berinteraksi dengan dunia (realitas) dan dengan orang-orang yang diwawancarai, dan sedikit banyak menentukan bagaimana bentuk dan isi berita yang dihasilkan. Berita dihasilkan dari pengetahuan dan pikiran (bacalah teori kontruktivis dalam handsout Teori Komunikasi), bukan karena ada realitas objektif yang berada diluar, melainkan karena orang akan mengorganisasikan dunia yang abstrak ini menjadi dunia yang koheren dan beraturan serta mempunyai makna. Lagi pula, proses terbentuk berita dalam pandangan ini tidak mirip dengan proses seleksi berita: seakan ada informasi yang diambil oleh wartawan, informasi itu kemudian diambil lagi oleh redaktur, dan seterusnya. Setiap bagian pada dasarnya membentuk konstruksi dan realitasnya masing-masing.
B. Kelompok opini, meliputi tajuk rencana (editorial), karikatur, artikel, kolom, dan surat pembaca. Editorial adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomental, dan atau kontroversial yang berkembang dalam masyarakat. Karikatur adalah opini redaksi media dalam bentuk gambar yang sarat dengan muatan kritik sosial dengan memasukkan unsur kelucuan, anekdot, atau humor agar siapapun yang melihatnya bisa tersenyum. Artikel adalah tulisan lepas berisi opini seseorang yang mengupas tuntas suatu masalah tertentu yang sifatnya aktual dan atau kontroversial dengan tujuan untuk memberitahu (informatif), mempengaruhi, dan menyakinkan, atau menghibur. Disebut lepas, karena siapapun boleh menulis artikel denga topik bebas sesuai dengan minat dan keahliannya masing-masing. Pojok adalah kutipan pernyataan singkat nara sumber atau peristiwa tertentu yang dianggap menarik atau kontroversial, untuk kemudian dikomentari oleh pihak redaksi dengan kata atau kalimat yang mengusik, menggelitik, dan adakalanya reflektif. Kolom adalah opini singkat seseorang (kolomnis) yang lebih banyak menekankan aspek pengamatan dan pemaknaan terhadap suatu persoalan atau keadaan yang terdapat dalam masyarakat. Kolom lebih banyak mencerminkan cap pribadi penulis. Surat pembaca adalah opini singkat yang ditulis oleh pembaca dan dimuat dalam rubrik khusus suarat pembaca. Surat pembaca biasanya berisi keluhan atau komentar pembaca tentang apa saja yang menyangkut kepentingan dirinya atau masyarakatnya.
C. Pola Isi Media
            Reese dan Shoemaker, 1996, menyatakan bahwa pola isi media massa mempunyai kecenderungan sebagai berikut:
1.      Bias politik. McQuail (1992, dalam Reese & Shoemaker 1996) mendefinisikan bias sebagai suatu kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan objektivitas kebenaran. Banyak pengamat melihat bahwa berita-berita politik media cenderung menampilkan bias politik. Menurut McQuail, terdapat empat (4) tipe bias pemberitaan:
  1. Partisanship,  terjadi karena secara terbuka dan intensif pihak editorial mendukung kepada suatu kandidat politik.
  2. Propaganda, terjadi karena tindakan dari partisan yang intensif dalam usahanya mendukung kandidat politik. Misal propaganda yang dilakukan oleh pihak media ”pemerintah” berkenaan suatu kebijakan pemerintah.
  3. Unwitting bias, terjadi secara terbuka dan tidak sengaja-seperti pemilihan suatu topik dengan berhati-hati untuk mempertimbangkan layak tidaknya suatu berita.
  4. Ideology, terjadi secara tidak sengaja namun seseorang akan mengkonstruksi peristiwa sesuai dengan ideologinya.
2.   Perilaku, media massa selalu (seringkali) memberitakan perilaku-perilaku manusia. Perilaku kejahatan menduduki peringkat pertama sebagai materi berita, disusul perilaku sexual.
3.      Penyimpangan, peristiwa-peristiwa yang mengandung potensi penyimpangan (deviance) mempunyai nilai berita yang lebih tinggi dibanding peristiwa-peristiwa yang wajar.
4.      Sumber dan topik baru. Nilai berita diukur dari kebesaran peristiwanya  atau arti pentingnya. Dalam hal ini sumber berita merupakan ukuran berita, begitu juga suatu topik berita. Sumber dan topik berita yang sedang populer di masyarakat mempunyai nilai berita yang tinggi.
5.    Pola geografik, materi berita cenderung mengikuti  karakteristik tempat tinggal khalayaknya. Peristiwa yang lebih dekat (fisik maupun emosional) dengan khalayak lebih layak  diberitakan dibanding dengan peristiwa yang jauh. Konsep nilai berita seperti seringkali disebut proximity.
6.   Pola demografik, materi berita cenderung mengikuti karakteristik umur, pendidikan, status sosial ekonomi,  kegemaran/profesi khalayaknya[1].

Daftar pustaka:
Eriyanto, 2002, Analisis Framing: Kontruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: LKiS.
McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa ed. 2, Jakarta: Erlangga
Shoemaker & Reese, 1996, Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content, USA:Longman.



[1] Pada perkembangannya pola demografik terperinci lagi mengarah ke pola psikografik. Psikografik menunjuk pada karakter, sifat kepribadian, kebiasaan, adapt-istiadat.