SEJARAH KOMUNIKASI MASSA
Loncatan sejarah komunikasi bermedia yang penting dicatat adalah pada masa pemerintahan Julius Caesar pada bangsa Romawi (100 – 44 SM). Ia memerintahkan pembuatan media komunikasi yang dapat dibaca oleh umum dan diletakkan di forum Romanum sebagai alat informasi kepada rakyat. Media tersebut dikenal dengan istilah Acta Diurna dan Acta Senatus. Acta Diurna adalah media yang memuat keputusan-keputusan dari rapat rakyat, serta informasi kejadian sehari-hari lainnya. Ditulis setiap hari dan isinya hal-hal yang juga menarik perhatian umum. Acta Senatus adalah media yang memuat laporan-laporan singkat mengenai persidangan Senat dan keputusan-keputusan yang diambilnya. Acta Diurna dianggap sebagai embrional (cikal bakal) dari surat kabar namun belum boleh dikatakan surat kabar karena tidak memenuhi apa yang disyaratkan sebagai surat kabar. Pada waktu itu, terdapat apa yang disebut diurnari, yaitu istilah yang dipakai untuk mereka-mereka yang diutus atau disuruh oleh para tuan tanah, bangsawan-bangsawan untuk mencatat apa yang termuat dalam Acta Diurna. Profesi ini kemudian menjadi embrional profesi wartawan (jurnalis).
Mesin cetak diciptakan oleh Johan Gutenberg pada tahun 1440 Ausburg, Jerman . Sebelum digunakannya mesin cetak -surat; Injil; buku; selebaran; dll.- ditulis dengan tangan. Pada perkembangannya, satu setengah abad kemudian setelah mesin cetak diciptakan, baru mulai digunakan untuk mencetak surat kabar. Hal ini disebabkan karena alasan-alasan politik . Pada waktu itu, terdapat tiga kekuatan dasar yang paling dominan menghambat terbitnya surat kabar cetak sebagai media massa (Suparnadi, 1985), yaitu:
• Divine selection + Divine Right = Doctrine of Divine Right.
Pada waktu ditemukan mesin cetak, Raja dan bangsawan-bangsawan mempunyai kekuasaan yang mutlak di daerah kekuasaannya. Kekuasaan dan hak yang dimiliki raja adalah dianggap diberikan oleh Tuhan (Authoritarian concept). Segala perintah raja dan penguasa harus ditaati dan merupakan peraturan. Itulah sebabnya, penggunaan mesin cetak pada waktu itu yang menentukan adalah raja. Sudah tentu penggunaan mesin cetak dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya, untuk mengukuhkan kekuatan politik raja (strugle to get political power)
• Authoritarian Tradition of Roman Church.
Disamping kekuatan raja, ternyata kekuatan gereja juga diberi angin oleh raja, karena raja sendiri pada waktu itu ingin mendapatkan dukungan gereja yang merupakan kekuatan nyata. Itu sebabnya raja memberikan wewenang penuh kepada gereja untuk turut mengontrol pendapat dan menggunakan (memanfaatkan) mesin cetak. Mesin cetak digunakan untuk kepentingan agama antara lain untuk mencetak (memperbanyak) kitab-kitab Injil dan produk lain yang ada hubungannya dengan kepentingan gereja, sehingga menghambat terbitnya surat kabar.
• Political Philosophy Concept.
Konsep-konsep politik yang dibukukan seperti karya Plato berjudul Republica, yang berisi tentang falsafah kenegaraan yang dijadikan landasan pemerintah pada waktu itu. Di dalamnya terdapat pendapat: para penguasa punya hak menentukan hokum tanpa menghiraukan hal itu salah atau benar. Di samping kekuasaan raja yang otoriter ini dikukuhkan oleh seorang politikus terkenal pada waktu itu Machiavelli (1469-1527) dengan bukunya Il Princip atau The Prince, di situ ia memuji-muji raja yang sanggup membesarkan jajahannya, dan tiada peduli orang lain dengan cara dan alat apa untuk mencapai maksudnya. Menurut ajaran machiavelli yang banyak dianut oleh raja-raja dan penguasa pada waktu itu, segala akal d an perbuatan, baik atau buruk, haram atau halal boleh dipergunakan untuk mencapai maksud politik, asal dalam negeri ada ketentraman dan kemakmuran. Pendapat yang beraneka warna harus dihancurkan. Dia berkata: tujuan dicapai dengan cara apapun yang harus ditempuh.
Tiga kekuatan dominan tersebut di atas makin lama makin mengendor, sejalan dengan berkembangnya libertarian concept sebagai reaksi terhadap authoritarian concept. Liberalisme ini berdasar pada filsafat rasionalisme, dimana manusia dianggap sebagai mahluk yang rasional yang dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, menentukan segala sesuatu sehingga tak boleh dikontrol, harus bebas, campur tangan dalam hal ini dianggap merendahkan martabat manusia.
Surat kabar tercetak pertama kali terbit di Eropa adalah berupa mingguan dengan nama Avisa, Relation, Oder Zeitung di Straatsburg, Jerman, pada tahun 1609. surat kabar di negeri-negeri lain menyusul terbit, seperti Courant of General News di Inggris, Gazette de France di Perancis, dan Boston News Letter di Amerika Serikat pada tahun 1704. Setelah terbitnya surat kabar mingguan, maka dengan adanya kemajuan teknik dan memenuhi kebutuhan akan hausnya berita dan adanya kesadaran betapa pentingnya nilai aktualitas yang obyektif, lahirlah surat kabar harian yang pertama di Eropa, yaitu Leipziger Zeitung yang tebirt di Leipzig (Jerman) pada tahun 1660. dan setelah itu menyusul kota kota/negara-negara lain seperti Daily Courant (Inggris, 1702); Rotterdamsche Courant (Belanda, 1717); Tagblatt der Stadt Zurich (Swiss, 1730); Journal de Paris (Perancis, 1777); Pennsylvania Packet (Amerika Serikat, 1784). Surat kabar-surat kabar tercetak inilah yang mengawali adanya media massa, dimana ciri-ciri surat kabar sebagai media massa terpenuhi dalam hal: aktualitas; periodesitas; universalitas; dan publisitas.
Perkembangan surat kabar selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan teknologi, atau dengan kata lain perkembangan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan serta alat-alat teknologi sangat berpengaruh terhadap pasang surutnya perkembangan surat kabar. Revolusi industri di Inggris menjalar ke Eropa daratan pada kurang lebih pertengahan abad ke 18 mempercepat laju pertumbuhan perusahaan persuratkabaran menjadi suatu industri besar. Diketemukannya mesin ketik, telegraf, telephone dan set linotip menambah ringan kerja di bidang jurnalistik. Di Inggris tumbuh industri surat kabar Daily Mail (1896) yang dipelopori oleh Harold Northcliffe yang terkenal dengan pendapat: if a dog bites a man it is not news, but is a man bites a dog, that is news.
Sejarah Media Massa Indonesia
1. Media massa cetak.
Surat kabar di Indonesia mulai berkembang jauh hari sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Surat kabar telah dipergunakan oleh para pendiri bangsa kita sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Sejak pertengahan abad ke 18, orang-orang Belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Penguasa kolonial mengekang pertumbuhan pers, meskipun penerbitnya terdiri dari orang-orang Belanda sendiri. Tetapi surat kabar yang tumbuh dari akhir abad ke 19 hingga awal abad berikutnya, juga merupakan sarana pendidikan dan latihan bagi orang-orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan di dalamnya (Tribuana Said, 1988). Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles (Agustus 1744 – Juni 1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817), Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar berbahasa Melayu yang pertama adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1956. kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta 1864), dan Biang Lala (Jakarta, 1867). Perkembangan pers di masa penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata telah dapat menggugah cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa.
Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan masyarakat yang mulai terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial, badan-badan kebudayaan, bahkan gerakan-gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh pergerakan, atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi Utomo pada bulan mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk menumbuhkan kesadaran nasioal dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia. Pada gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah surat-surat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat, Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, serta organisasi Persatoean Djoernslis Indonesia (1933) adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari perjuangan nasional secara keseluruhan.
Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa demokrasi terpimpin hingga menjelang Orde Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia kepartaian, sangat berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pola pertentangan antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan dalm dunia pers, sehingga timbul di satu pihak pers pendukung pemerintah (tepatnya prokabinet) dan di lain pihak pers oposisi. Konfigurasi sikap dan kedudukan pers berubah berbarengan dengan terjadinya perubahan pada konfigurasi politik kepartaian dan pemerintahan. Bahkan sebagian pers memilih pola pers bebas seperti di negara liberal, dengan kadar kebebasan dan persepsi tanggung jawab yang banyak ditentukan oleh wartawan masing-masing. Kondisi pers nasional tergambarkan di atas berlaku dalam masa perjuangan mempertahan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1949 dan dalam masa pemerintahan parlementer antara tahun 1950 – 1959. ekses-ekses dari kondisi tersebut di atas adalah pemberontakan-pemberontakan bersenjata, ketidak stabilan sistem pemerintahan, penodaan kebebasan pers, danlain-lain.
Meskipun sistem parlementer telah terkubur sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, pola pertentangan partai-partai masih bertahan. Bahwa pada masa demokrasi terpimpin , wartawan Indonesia umumnya, PWI (didirikan pada 9 Februari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila, tidak terlepas dari latar belakang dan landasan lhirnya gerakan kemabali UUD 1945. Yaitu, pertentangan dan perlawanan terhadap golongan yang ingin menciptakan undang-undang dasar berdasarkan asas dan dasar negara yang lain. Tetapi, karena kepentingan Manipolisasi dan Nasakomisasi yang semakin menonjol, terutama akibat agitasi dan propaganda golongan PKI yang ingin memperbesar pengaruhnya dalam rangka merebut kekuasaan, maka ideologi Pancasila semakin terdesak oleh konsep-konsep revolusi.
Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur Manipolisasi dan Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal ’pembenahan’ kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun 1966. pengembangan pers nasional lebih lanjut diwujudkan dengan mengundangkan UU no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap konsep penerbitan untuk mengatasi represi politik, pada tahun 1980-an banyak surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan ekonomi, budaya, sosial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak kalangan pers yang kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca baru. Fenomena yang paling mencolok ialah menjamurnya jumlah media yang berebut pangsa pasar di kalangan pembaca wanita. Kelompok Femina, misalnya, juga mengelola Ayahbunda, Gadis, dan Sarinah Group. Kelompok Gramedia juga terlihat menghindari ’daerah rawan’ dengan mengelola Nova, Hai, Intisari, Tiara, Bola, Bobo, dan sebagainya.
Kemudian pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
2. Media massa elektrolit.
Pada tahun 1911, Angkatan Laut Kerajaan Belanda pertama kali mengoperasikan fasilitas radio komunikasi di Sabang, pulau paling barat dari weilayah Indonesia. Fasilitas radio ini digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengatur lalu lintas kapal laut yang melintas Selat Malaka, jalur perdagangan yang sangat sibuk pada waktu itu. Setelah perang dunia pertama usai, tepatnya pada tahun 1925, di Jakarta berdiri Batavia Radio Society atau Radio Batavia Vereniging (BRV), sekelompok broadcaster yang mulai mengudarakan siaran tetap berupa pemutaran musik barat. Lahirnya BRV inilah yang mulai mengawali keberadaan radio siaran di Hindia Belanda (Indonesia).
Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Pada saat itu radio siaran yang ada dihentikan. Kemudian Jepang mendirikan lembaga penyiaran baru yang dinamakan Hoso Kanri Kyoko dengan cabang-cabangnya di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogjakarta, Surakarta, Surabaya, dan Malang. Kedelapan stasiun daerah inilah yang kemudian menjadi embrio pendirian Radio Republik Indonesia (RRI). Pada sebuah pertemuan di Jakarta pada 11 September 1945 RRI didirikan oleh pemerintah Indonesia.
Sejarah sistem penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada 17 Agustus 1962. Hari itu, Televisi Republik Indonesia (TVRI) lahir dan untuk pertama kalinya beroperasi. Dengan pemancar berkekuatan 100 watt, siaran pertama dilakukan untuk menyiarkan peringatan ulang tahun ke 17 proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dari halaman Istana Merdeka Jakarta. Pada awalnya TVRI adalah proyek khusus untuk menyukseskan penyelenggaraan Asian Games ke 4 di Jakarta. Siaran TVRI sehubungan dengan Asian Games dikoordinir oleh Organizing Comitte Asian Games IV yang dibentuk khusus untuk event olah raga itu, di bawah naungan Biro Radio dan Televisi Departemen Penerangan. Mulai 12 November 1962 TVRI mengudara secara reguler setiap hari. Pada 1 Maret 1963 TVRI mulai menayangkan iklan seiring dengan ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui keputusan presiden RI nomer 215 tahun 1963. Namun pada tahun 1981 dengan berbagai alasan politis TVRI tidak diijinkan lagi menayangkan iklan.
Mulai tahun 1988 TVRI mulai mendapat teman dalam penyiaran di Indonesia. Pemerintah telah mulai mengijinkan televisi swasta beroperasi di Indonesia, RCTI (1988), SCTV (1989), TPI (1990), ANTV (1993), INDOSIAR (1995).
Daftar pustaka:
Agus Sudibyo, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta: LkiS.
McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa ed. 2, Jakarta: Erlangga
Nurudin, 2003, Komunikasi Massa, Malang: CESPUR.
Stanley J. Baran & Dennis K. Davis, 2000, Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future, USA: Wadsworth.
Suparnadi, 1987, Sejarah Komunikasi dan Media Cetak, Surakarta: FISIP Program studi Komunikasi Massa UNS.
Senin, 05 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar