Rabu, 26 Desember 2007

TEORI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Philipsen (dalam Griffin, 2003) mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol, makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara mensejarah. Pada dasarnya, budaya adalah suatu kode.

Terdapat empat dimensi krusial yang dapat untuk memperbandingkan budaya-budaya, yaitu:

  1. Jarak kekuasaan (power distance)
  2. Maskulinitas.
  3. Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).
  4. Individualisme.

Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antarbudaya, Griffin (2003) menyadur teori AnXiety/Uncertainty Management; Face-Negotiation; dan Speech Codes.

1. Anxiety/Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian).

Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan.

Ia menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses meminimalisir ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama.

Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi.

Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:

a. Konsep diri dan diri.

Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.

b. Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.

Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.

c. Reaksi terhadap orang asing.

Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka.

Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing.

Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.

d. Kategori sosial dari orang asing.

Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok.

Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.

e. Proses situasional.

Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka.

f. Koneksi dengan orang asing.

Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka.

Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain.

2. Face-Negotiation Theory.

Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan –perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu adalah metaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.

Terdapat tiga perbedaan penting diantara budaya individulis dan budaya kolektivis. Perbedaan-perbedaan itu adalah dalam cara mendefinisikan: diri; tujuan-tujuan; dan kewajiban.

konsep

Budaya individualis

Budaya kolektivis

Diri

Sebagai dirinya sendiri

Sebagai bagian kelompok

Tujuan

Tujuan diperuntukan kepada pencapaian kebutuhan diri.

Tujuan diperuntukan kepada pencapaian kebutuhan kelompok

Kewajiban

Melayani diri sendiri

Melayani kelompok/orang lain.

Teori ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:

a. Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok.

b. Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota kelompok.

c. Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat.

d. Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.

e. Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.

Face-negotiation teory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating, dan integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk self-face dan other -face.

3. Speech Codes Theory.

Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:

a. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.

b. Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.

c. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.

d. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.

e. Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi.

GENDER DAN KOMUNIKASI

Robin Lakoff (dalam Griffin, 2003) mencoba mengklasifikasikan keberaturan pembicaraan perempuan, dan membedakan antara woman talk dari man talk.

Ia mengklaim bahwa percakapan perempuan mempunyai karakter sebagai berikut:

  1. Ditandai apologis.
  2. Pernyataan tidak langsung.
  3. Pertanyaan yang minta persetujuan
  4. Mengkualifikasikan.
  5. Perintah yang sopan.
  6. Menggunakan istilah color.
  7. Cenderung menghindari bahasa vulgar.
  8. Sedikit berbicara, banyak mendengarkan.

Sementara itu, penelitian Griffin (2003), yang berdasarkan pada refleksi personal, menemukan tiga pola perbedaan antara perempuan dan laki-laki sebagai berikut:

a) ada lebih banyak persamaan antara laki-laki dan perempuan dari pada perbedaannya.

b) ada variabilitas yang besar berkenaan gaya komunikasi antara laki dan perempuan. Feminis vs maskulinitas.

c) sex adalah fakta, gender sebagai gagasan.

Dalam pembahasan mengenai gender dan komunikasi, Griffin menyadur tiga buah pemikiran sebagai berikut: Genderlect Styles (dari Deborah Tannen); Standpoint Theory (dari Sandra Harding dan Julia Wood); dan Muted Group Theory (dari Cheris Kramarae).

  1. Genderlect Styles (dari Deborah Tannen).

Deborah Tannent mendiskripsikan ketidakmengertian (misunderstanding) antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan perempuan adalah koneksitas, sementara laki-laki pada pelayanan status dan kemandiriannya.

Genderlect Styles membicarakan gaya bercakap-cakap- bukan apa yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya. Tanent meyakini bahwa terdapat gap antara laki-laki dan perempuan, dikarenakan masing-masing berada pada posisi lintas budaya (cross culture), untuk itu perlu mengantisipasi berkenaan dengan gap itu. Kegagalan mengamati perbedaan gaya bercakap dapat membawa masalah yang besar.

Perbedaan-perbedaan itu terletak pada:

· Kecenderungan feminis versus maskulin, hal ini harus dipandang sebagai dua dialek yang berbeda: antara superior dan inverior dalam pembicaraan. Komunitas feminis – untuk membangun relationship; menunjukkan responsif. Komunitas maskulin – menyelesaikan tugas; menyatakan diri; mendapatkan kekuasaan.

· Perempuan berhasrat pada koneksi versus laki-laki berhasrat untuk status. Koneksi berhubungan erat dengan kedekatan, status berhubungan erat dengan kekuasaan (power).

· Raport talk versus report talk. Perbedaan budaya linguistik berperan dalam menstruktur kontak verbal antara laki-laki dan perempuan. Raport talk adalah istilah yang digunakan untuk menilai obrolan perempuan yang cenderung terkesan simpatik. Report talk adalah istilah yang digunakan menilai obrolan laki-laki yang cenderung apa adanya, pokoknya sampai. Berkenaan dengan kedua nilai ini, Tanent menemukan temuan-temuan yang terkategorikan sebagai berikut:

a. Publik speaking versus private speaking, dalam kategori ini diketemukan bahwa perempuan lebih banyak bicara pada pembicaraan pribadi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat pembicaraan publik, laki-laki menggunakan pembicaraan sebagai pernyataan fungsi perintah; menyampaikan informasi; meminta persetujuan.

b. Telling story, cerita-cerita menggambarkan harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, dan nilai-nilai si pencerita. Pada kategori ini laki-laki lebih banyak bercerita dibanding perempuan-khususnya tentang guyonan. Cerita guyonan merupakan suatu cara maskulin menegoisasikan status.

c. Listening, perempuan cenderung menjaga pandangan, sering manggut, berguman sebagai penanda ia mendengarkan dan menyatakan kebersamaannya. Laki-laki dalam hal mendengarkan berusaha mengaburkan kesan itu- sebagai upaya menjaga statusnya.

d. Asking questions, ketika ingin bicara untuk menyela pembicara, perempuan terlebih dahulu mengungkapkan persetujuan. Tanent menyebutnya sebagai kooperatif-sebuah tanda raport simpatik daripada kompetitif. Pada laki-laki, interupsi dipandang oleh Tanent sebagai power-kekuasaan untuk mengendalikan pembicaraan. Dengan kata lain, pertanyaan dipakai oleh perempuan untuk memantapkan hubungan, juga untuk memperhalus ketidaksetujuan dengan pembicara, sedangkan laki-laki memakai kesempatan bertanya sebagai upaya untuk menjadikan pembicara jadi lemah.

e. Conflict, perempuan memandang konflik sebagai ancaman dan perlu dihindari. Laki-laki biasanya memulai konflik namun kurang suka memeliharanya.

  1. Standpoint Theory (dari Sandra Harding dan Julia Wood).

Sandra harding dan Julia Wood sepakat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai perspektif terpisah, dan mereka tidak memandangnya sebagai sesuatu yang setara. Lokasi-lokasi yang berbeda dalam hirarkhi sosial mempengaruhi apa yang dilihat. Mereka beranggapan bahwa perempuan dan minoritas yang lainnya mempersepsi dunia secara berbeda daripada kelompok yang berkuasa.

Standpoint merupakan tempat dari mana melihat pemandangan dunia, apapun sudut pandangnya. Sinonim dari istilah ini adalah perspektif; view point, out look; dsb.

Dasar filosopi teori ini adalah perjuangan klas- seperti filsafati kaum proletar karya Karl Marx dan Friederich Engels. Sandra harding dan Julia Wood menganjurkan harus ada perjuangan terhadap diskriminasi gender. Mereka tidak mencirikan perbedaan gender pada insting atau biologis atau intuisi, tetapi perbedaan itu sebagai hasil harapan-harapan budaya dan perlakuan kelompok dalam hal menerima kelompok yang lain. Budaya tidak dialami secara identik, budaya adalah aturan hirarkhi sehingga kelompok yang punya posisi cenderung menawarkan kekuasaan, kesempatan pada anggota-anggotanya. Dalam hal ini teori ini menyatakan bahwa perempuan terposisikan pada hirarkhi yang rendah dibanding posisi laki-laki.

Gender adalah sistem makna, sudut pandang melalui posisi dimana kebanyakan laki-laki dan perempuan dipisahkan secara lingkungan, material, simbolis.

  1. Muted Group Theory (dari Cheris Kramarae).

Berdasarkan analisis feminis, Cheris Kramarae memandang pembicaraan laki-laki dan perempuan sebagai pertukaran yang tidak setara antara mereka yang mempunyai kekuasaan di masyarakat dan yang tidak. Ia meyakini bahwa kurang bisanya mengartikulasikan diri/memperjuangkan diri dibanding laki-laki di sector public- sebab kata dalam bahasa dan norma-norma yang mereka gunakan itu telah dikendalikan laki-laki. Sepanjang pembicaraan perempuan sebagai tentatif dan sepele, posisi dominan laki-laki aman. Kramarae yakin bahwa kebisuan perempuan itu cenderung menipis, kontrol mereka dalam kehidupan kita akan meningkat.

Cheris Kramarae (dalam Sendjaja:1994) mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut:

  • Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.
  • Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi lebih dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan.
  • Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mengubah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki.

Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai komunikasi perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian.

a) Perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki.

b) Perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan.

c) Perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendiri di luar sistem laki-laki yang dominan.

d) Perempuan cenderung untuk mengekspresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi dibanding laki-laki.

e) Perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional.

f) Secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer dalam masyarakat luas; konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi terhadap bahasa.

g) Perempuan memiliki konsepsi humoris yang berbeda dari pada laki-laki.

Jumat, 07 Desember 2007

PENGERTIAN KOMUNIKASI KELOMPOK

Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Kedua definisi komunikasi kelompok di atas mempunyai kesamaan, yakni adanya komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu umtuk mencapai tujuan kelompok.

Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.

Klasifikasi kelompok dan karakteristik komunikasinya.

Telah banyak klasifikasi kelompok yang dilahirkan oleh para ilmuwan sosiologi, namun dalam kesempatan ini kita sampaikan hanya tiga klasifikasi kelompok.

  • Kelompok primer dan sekunder.

Charles Horton Cooley pada tahun 1909 (dalam Jalaludin Rakhmat, 1994) mengatakan bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita.

Jalaludin Rakhmat membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya, sebagai berikut:

    1. Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Dalam, artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsur-unsur backstage (perilaku yang kita tampakkan dalam suasana privat saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.
    2. Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok sekunder nonpersonal.
    3. Komunikasi kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan kelompok primer adalah sebaliknya.
    4. Komunikasi kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder instrumental.
    5. Komunikasi kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder formal.

  • Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan.

Theodore Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap.

Menurut teori, kelompok rujukan mempunyai tiga fungsi: fungsi komparatif, fungsi normatif, dan fungsi perspektif. Saya menjadikan Islam sebagai kelompok rujukan saya, untuk mengukur dan menilai keadaan dan status saya sekarang (fungsi komparatif. Islam juga memberikan kepada saya norma-norma dan sejumlah sikap yang harus saya miliki-kerangka rujukan untuk membimbing perilaku saya, sekaligus menunjukkan apa yang harus saya capai (fungsi normatif). Selain itu, Islam juga memberikan kepada saya cara memandang dunia ini-cara mendefinisikan situasi, mengorganisasikan pengalaman, dan memberikan makna pada berbagai objek, peristiwa, dan orang yang saya temui (fungsi perspektif). Namun Islam bukan satu-satunya kelompok rujukan saya. Dalam bidang ilmu, Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) adalah kelompok rujukan saya, di samping menjadi kelompok keanggotaan saya. Apapun kelompok rujukan itu, perilaku saya sangat dipengaruhi, termasuk perilaku saya dalam berkomunikasi.

· Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif

John F. Cragan dan David W. Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua: deskriptif dan peskriptif. Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, kelompok deskriptif dibedakan menjadi tiga: a. kelompok tugas; b. kelompok pertemuan; dan c. kelompok penyadar. Kelompok tugas bertujuan memecahkan masalah, misalnya transplantasi jantung, atau merancang kampanye politik. Kelompok pertemuan adalah kelompok orang yang menjadikan diri mereka sebagai acara pokok. Melalui diskusi, setiap anggota berusaha belajar lebih banyak tentang dirinya. Kelompok terapi di rumah sakit jiwa adalah contoh kelompok pertemuan. Kelompok penyadar mempunyai tugas utama menciptakan identitas sosial politik yang baru. Kelompok revolusioner radikal; (di AS) pada tahun 1960-an menggunakan proses ini dengan cukup banyak.

Kelompok preskriptif, mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok. Cragan dan Wright mengkategorikan enam format kelompok preskriptif, yaitu: diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel, forum, kolokium, dan prosedur parlementer.

Pengaruh kelompok pada perilaku komunikasi

  • Konformitas.

Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai akibat tekanan kelompok-yang real atau dibayangkan. Bila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama. Jadi, kalau anda merencanakan untuk menjadi ketua kelompok,aturlah rekan-rekan anda untuk menyebar dalam kelompok. Ketika anda meminta persetujuan anggota, usahakan rekan-rekan anda secara persetujuan mereka. Tumbuhkan seakan-akan seluruh anggota kelompok sudah setuju. Besar kemungkinan anggota-anggota berikutnya untuk setuju juga.

  • Fasilitasi sosial.

Fasilitasi (dari kata Prancis facile, artinya mudah) menunjukkan kelancaran atau peningkatan kualitas kerja karena ditonton kelompok. Kelompok mempengaruhi pekerjaan sehingga menjadi lebih mudah. Robert Zajonz (1965) menjelaskan bahwa kehadiran orang lain-dianggap-menimbulkan efek pembangkit energi pada perilaku individu. Efek ini terjadi pada berbagai situasi sosial, bukan hanya didepan orang yang menggairahkan kita. Energi yang meningkat akan mempertingi kemungkinan dikeluarkannya respon yang dominan. Respon dominan adalah perilaku yang kita kuasai. Bila respon yang dominan itu adalah yang benar, terjadi peningkatan prestasi. Bila respon dominan itu adalah yang salah, terjadi penurunan prestasi. Untuk pekerjaan yang mudah, respon yang dominan adalah respon yang banar; karena itu, peneliti-peneliti melihat melihat kelompok mempertinggi kualitas kerja individu.

  • Polarisasi.

Polarisasi adalah kecenderungan ke arah posisi yang ekstrem. Bila sebelum diskusi kelompok para anggota mempunyai sikap agak mendukung tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan lebih kuat lagi mendukung tindakan itu. Sebaliknya, bila sebelum diskusi para anggota kelompok agak menentang tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan menentang lebih keras.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan kelompok

Anggota-anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai dua tujuan: a. melaksanakan tugas kelompok, dan b. memelihara moral anggota-anggotanya. Tujuan pertama diukur dari hasil kerja kelompok-disebut prestasi (performance) tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfacation). Jadi, bila kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya kelompok belajar), maka keefektifannya dapat dilihat dari beberapa banyak informasi yang diperoleh anggota kelompok dan sejauh mana anggota dapat memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan kelompok.

Untuk itu faktor-faktor keefektifan kelompok dapat dilacak pada karakteristik kelompok, yaitu:

  1. ukuran kelompok.
  2. jaringan komunikasi.
  3. kohesi kelompok.
  4. kepemimpinan (Jalaluddin Rakhmat, 1994).

Daftar pustaka

Anwar Arifin, 1984, Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas, Bandung: Armico

Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Jalaludin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Littlejohn, 1999, Theories of Human Communication, Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.

Wiryanto, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

PENGERTIAN KOMUNIKASI ANTARPRIBADI

Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara individu-individu (Littlejohn, 1999).

Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik yang melibatkan hanya dua orang secara tatap-muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal, seperti suami-isteri, dua sejawat, dua sahabat dekat, seorang guru dengan seorang muridnya, dan sebagainya.

Steward L. Tubbs dan Sylvia Moss (dalam Deddy Mulyana, 2005) mengatakan ciri-ciri komunikasi diadik adalah:

· Peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat;

· Peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan, baik secara verbal maupun nonverbal.

Komunikasi antarpribadi sangat potensial untuk menjalankan fungsi instrumental sebagai alat untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena kita dapat menggunakan kelima lat indera kita untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang kita komunikasikan kepada komunikan kita. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna, komunikasi antarpribadi berperan penting hingga kapanpun, selama manusia masih mempunyai emosi. Kenyataannya komunikasi tatap-muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti surat kabar, televisi, ataupun lewat teknologi tercanggihpun.

Jalaludin Rakhmat (1994) meyakini bahwa komunikasi antarpribadi dipengaruhi oleh persepsi interpersonal; konsep diri; atraksi interpersonal; dan hubungan interpersonal.

  • Persepsi interpersonal

Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi, atau menafsirkan informasi inderawi. Persepi interpersonal adalah memberikan makna terhadap stimuli inderawi yang berasal dari seseorang(komunikan), yang berupa pesan verbal dan nonverbal. Kecermatan dalam persepsi interpersonal akan berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi, seorang peserta komunikasi yang salah memberi makna terhadap pesan akan mengakibat kegagalan komunikasi.

  • Konsep diri

Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep diri yang positif, ditandai dengan lima hal, yaitu: a. Yakin akan kemampuan mengatasi masalah; b. Merasa stara dengan orang lain; c. Menerima pujian tanpa rasa malu; d. Menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat; e. Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubah. Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi antarpribadi, yaitu:

1. Nubuat yang dipenuhi sendiri. Karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Bila seseorang mahasiswa menganggap dirinya sebagai orang yang rajin, ia akan berusaha menghadiri kuliah secara teratur, membuat catatan yang baik, mempelajari materi kuliah dengan sungguh-sungguh, sehingga memperoleh nilai akademis yang baik.

2. Membuka diri. Pengetahuan tentang diri kita akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan baru.

3. Percaya diri. Ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Orang yang aprehensif dalam komunikasi disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri. Untuk menumbuhkan percaya diri, menumbuhkan konsep diri yang sehat menjadi perlu.

4. Selektivitas. Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apa kita bersedia membuka diri (terpaan selektif), bagaimana kita mempersepsi pesan (persepsi selektif), dan apa yang kita ingat (ingatan selektif). Selain itu konsep diri juga berpengaruh dalam penyandian pesan (penyandian selektif).

  • Atraksi interpersonal

Atraksi interpersonal adalah kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang. Komunkasi antarpribadi dipengaruhi atraksi interpersonal dalam hal:

1. Penafsiran pesan dan penilaian. Pendapat dan penilaian kita terhadap orang lain tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan rasional, kita juga makhluk emosional. Karena itu, ketika kita menyenangi seseorang, kita juga cenderung melihat segala hal yang berkaitan dengan dia secara positif. Sebaliknya, jika membencinya, kita cenderung melihat karakteristiknya secara negatif.

2. Efektivitas komunikasi. Komunikasi antarpribadi dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan. Bila kita berkumpul dalam satu kelompok yang memiliki kesamaan dengan kita, kita akan gembira dan terbuka. Bila berkumpul dengan denganorang-orang yang kita benci akan membuat kita tegang, resah, dan tidak enak. Kita akan menutup diri dan menghindari komunikasi.

  • Hubungan interpersonal

Hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai hubungan antara seseorang dengan orang lain. Hubungan interpersonal yang baik akan menumbuhkan derajad keterbukaan orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di antara peserta komunikasi. Miller (1976) dalam Explorations in Interpersonal Communication, menyatakan bahwa ”Memahami proses komunikasi interpersonal menuntut hubungan simbiosis antara komunikasi dan perkembangan relasional, dan pada gilirannya (secara serentak), perkembangan relasional mempengaruhi sifat komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut.”

Lebih jauh, Jalaludin Rakhmat (1994) memberi catatan bahwa terdapat tiga faktor dalam komunikasi antarpribadi yang menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik, yaitu: a. Percaya; b. sikap suportif; dan c. sikap terbuka.

Daftar pustaka

Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Jalaludin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Littlejohn, 1999, Theories of Human Communication, Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.

Selasa, 04 Desember 2007

AUDIENS

Pada awalnya, sebelum media massa ada, audiens adalah sekumpulan penonton drama, permainan dan tontonan. Setelah ada kegiatan komunikasi massa, audiens sering diartikan sebagai penerima pesan-pesan media massa.

McQuail (1987) menyebutkan beberapa konsep alternatif tentang audiens sebagai berikut:

  • Audiens sebagai kumpulan penonton, pembaca, pendengar, pemirsa. Konsep audiens diartikan sebagai penerima pesan-pesan dalam komunikasi massa, yang keberadaannya tersebar, heterogen, dan berjumlah banyak. Pendekatan sosial budaya sangat menonjol untuk mengkaji konsep ini.
  • Audiens sebagai massa. Konsep audiens diartikan sebagai suatu kumpulan orang yang berukuran besar, heterogen, penyebaran, dan anomitasnya serta lemahnya organisasi sosial dan komposisinya yang berubah dengan cepat dan tidak konsisten. Massa tidak emiliki keberadaan(eksistensi) yang berlanjut kecuali dalam pikiran mereka yang ingin memperoleh perhatian dari dan memanipulasi orang-orang sebanyak mungkin. McQuail menyatakan bahwa konsep ini sudah tidak layak lagi dipakai.
  • Audiens sebagai kelompok sosial atau publik. Konsep audiens diartikan sebagai suatu kumpulan orang yang terbentuk atas dasar suatu isyu, minat, atau bidang keahlian. Audiens ini aktif untuk memperoleh informasi dan mendiskusikannya dengan sesama anggota audiens. Pendekatan sosial politik sangat menonjol untuk mengkaji konsep ini.
  • Audiens sebagai pasar. Konsep audiens diartikan sebagai konsumen media dan sebagai audiens (penonton, pembaca, pendengar, atau pemirsa) iklan tertentu. Pendekatan sosial ekonomi sangat menonjol untuk mengkaji konsep ini.

Konsep-konsep di atas tentu saja tidak saling eksklusif, secara empiris para pengelola/pemilik maupun pengguna media massa memaknai audiens sebagai perpaduan konsep ke satu, empat, dan tiga.

Melvin De Fleur dan Sandra Ball-Rokeach (dalam Nurudin, 2004; Rakhmat, 1994) mengkaji interaksi audiens dan bagaimana tindakan audiens terhadap isi media. Mereka menyajikan tiga perspektif yang menjelaskan kajian tersebut. Ketiga perspektif itu adalah sebagai berikut:

1. Individual Differences Perspective. Perspektif perbedaan individual memandang bahwa sikap dan organisasi personal-psikologis individu akan menentukan bagaimana individu memilih memilih stimuli dari lingkungan, dan bagaimana ia memberi makna pada stimuli tersebut. Berdasarkan ide dasar dari stimulus-response, perspektif ini beranggapan bahwa tidak ada audiens yang relatif sama, makanya pengaruh media massa pada masing-masing individu berbeda dan tergantung pada kondisi psikologi individu itu yang berasal dari pengalaman masa lalunya. Dengan kata lain, masing-masing individu anggota audiens bertindak menanggapi pesan yang disiarkan media secara berbeda, hal ini menyebabkan mereka juga menggunakan atau merespon pesan secara berbeda pula.

Dalam diri individu audiens terdapat apa yang disebut konsep diri, konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi -mempengaruhi kepada pesan apa kita bersedia membuka diri, bagaimana kita mempersepsi pesan itu, dan apa yang kita ingat. Dengan kata lain, konsep diri mempengaruhi terpaan selektif, persepsi selektif, ingatan selektif.

2. Social Categories Perspective. Perspektif ini melihat di dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang didasarkan pada karakteristik umum seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, pendapatan, keyakinan beragama, tempat tinggal, dan sebagainya. Masing-masing kelompok sosial itu memberi kecenderungan anggota-anggotanya mempunyai kesamaan norma sosial, nilai, dan sikap. Dari kesamaan itu mereka akan mereaksi secara sama pada pesan khusus yang diterimanya. Berdasarkan perspektif ini, pemilihan dan penafsiran isi oleh audiens dipengaruhi oleh pendapat dan kepentingan yang ada dan oleh norma-norma kelompok sosial. Dalam konsep audiens sebagai pasar dan sebagai pembaca, perspektif ini melahirkan segmentasi. Contoh: Anak-anak membaca Bobo, Yunior, Ananda. Ibu-ibu membaca Kartini, Sarinah, Femina. Kaum Islam membaca Sabili, Hidayah.

3. Social Relation Perspective. Persektif ini menyatakan bahwa hubungan secara informal mempengaruhi audiens dalam merespon pesan media massa. Dampak komunikasi massa yang diberikan diubah secara signifikan oleh individu-individu yang mempunyai kekuatan hubungan sosial dengan anggota audiens. Tentunya perspektif ini eksis pada proses komunikasi massa dua tahap, dan atau multi tahap.

Sejarah penelitian/pembahasan mengenai audiens telah dimulai seiring dengan penelitian tentang efek komunikasi massa. Pada awalnya, audiens dianggap pasif (baca teori peluru (Bullet Theory) atau Model Jarum Hipodermis). Namun pembahasan audiens secara intensif yang dimulai tahun 1940, Herta Herzog, Paul Lazarsfeld dan Frank Stanton (dalam Barran & Davis, 2003) memelopori mempelajari aktifitas audiens (yang kemudian melahirkan konsep audiens aktif) dan kepuasan audiens. Misal, pada tahun 1942 Lazarfeld dan Stanton memproduksi buku seri dengan perhatian pada bagaimana audiens menggunakan media untuk mengorganisir pengalaman dan kehidupan sehari-hari. Tahun 1944 Herzog menulis artikel Motivation and Gratifications of Daily Serial Listener, yang merupakan publikasi awal tentang penelitian kepuasan audiens terhadap media.

Aktifitas audiens merujuk pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Sejauh mana selektivitas audiens terhadap pesan-pesan komunikasi;

b. Kadar dan jenis motivasi audiens yang menimbulkan penggunaan media;

c. Penolakan terhadap pengaruh yang tidak diinginkan;

d. Jenis & jumlah tanggapan(response) yang diajukan audiens media (McQuail, 1987).

Pada waktu itu, aktivitas audiens merupakan fokus kajian uses and gratifications. Secara umum, pandangan para peneliti dalam tradisi uses and gratifications media menganggap bahwa audiens aktif dalam hal kesukarelaan dan orientasi selektif dalam proses komunikasi massa.

Levy dan Windahl menyusun tipologi aktifitas audiens yang dibentuk melalui dua dimensi. Dua dimensi itu adalah sebagai berikut:

  1. Dimensi orientasi audiens yang terdiri dari tiga tingkatan:
    • Selektivitas terhadap isi media
    • Keterlibatan (involvement), mengandung dua arti: a. Tingkatan dimana audiens menghubungkan dirinya dengan isi media; b. Suatu tingkatan dimana individu berinteraksi secara psikologis dengan media atau termasuk di dalamnya dengan pesan-pesan media.
    • kegunaan (utility), diartikan bahwa individu menggunakan atau mengantisipasi penggunaan komunikasi massa untuk tujuan sosial atau psikologisnya.
  2. Dimensi temporal (urutan komunikasi), yaitu dimensi yang menjelaskan aktivitas audiens dilihat sebelum, selama, dan sesudah terpaan (exposure).

Tipologi Aktivitas Audiens

(Levy dan Windahl, 1984)

Urutan komunikasi

Orientasi

Audiens

Sebelum terpaan

Selama terpaan

Sesudah terpaan

Selektivitas

Terpaan selektif, mencari-cari

Persepsi selektif

Ingatan selektif

Keterlibatan

Antisipasi dari terpaan

Perhatian, pembentukan makna, interaksi parasosial, identifikasi

Identifikasi jangka panjang,

mengkhayal

Kegunaan

koin pertukaran

Menggunakan untuk memperoleh kepuasan

menggunakan kepemimpinan pendapat suatu topik

Lebih lanjut, Levy dan Windahl menghubungkan antara variabel keterlibatan selama terpaan dengan variabel preexposure selectivity, yang menghasilkan 4 subtipe aktivitas audiens. Tipologi subtipe aktivitas audiens tersebut tersaji pada tabel berikut ini.

Preexposure selectivity

Keterlibatan selama terpaan

Tinggi

Rendah

Tinggi

Mencari kepuasan yang dimotivasi

Keterlibatan indiskriminasi

Rendah

Topik ritual

Melewatkan waktu

Dalam penelitiannya, Levy dan Windahl menyatakan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara pengukuran aktivitas audiens dengan indikator-indikator pencarian kepuasan dan pemerolehan kepuasan. Pada kasus hubungan antara aktivitas dengan pencarian kepuasan, ditemukan bahwa individu menggunakan media untuk memperoleh kepuasan sosial maupun psikososialnya, dan audiens akan aktif memenuhi harapannya itu dalam proses komunikasi yang dilakukannya. Sebaliknya, hubungan antara aktivitas dengan pemerolehan kepuasan, memperlihatkan bahwa pengalaman individu yang lebih aktif akan berada pada level kepuasan yang lebih tinggi, dan aktivitas harus dilihat sebagai variabel independen.

Aktivitas audiens juga bergantung pada sejumlah faktor lain, yang bisa dikelompokkan menjadi faktor individu, sosial, dan media. Faktor individual misalnya bisa kita lihat dari jenis kelamin, umur, intelegensia, kepribadian, dan tempat atau latar belakang siklus kehidupannya. Faktor sosial misalnya hubungan antara kelas sosial dengan konsumsi media. Blumer mengidentifikasikan faktor sosial seperti: satus perkawinan, partisipasi kerja, mobilitas sosial, dan ukuran potensial interaksi. Faktor-faktor sosial tersebut kemudian akan menentukan bagaimana kebutuhan orientasi media, kondisi orientasi audiens terhadap media, dan situasi sosial konsumsi media, yang semuanya itu mempengaruhi aktivitas audiens. Faktor media, bisa dilihat dari perbedaan-perbedaan kompleksitas pesan, gaya pesan, dan variasi-variasi dalam isi pesan substantif.

Daftar Pustaka:

Jalaluddin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya

McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa ed. 2, Jakarta: Erlangga

Nurudin, 2003, Komunikasi Massa, Malang: CESPUR.

Stanley J. Baran & Dennis K. Davis, 2003, Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future, USA: Wadsworth.